Peredaran Pangan Berformalin Masih Tinggi

Rombongan Komisi IX DPR RI berfoto bersama saat melakukan kunker ke BBPOM Palembang, Jumat (25/5). (FOTO: SS1/Yanti)

Palembang, SumselSatu.com

Berdasarkan data dari Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Palembang, peredaran pangan tahu dan mie berformalin tahun ini mencapai 20,28 persen. Komisi IX DPR RI meminta Balai BPOM Palembang untuk meningkatkan kinerjanya agar peredaran pangan berformalin diturunkan.

Permintaan itu disampaikan Ketua Tim Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi IX DPR RI Pius Lustrilanang dalam acara Kunker Spesifik Komisi IX DPR RI di Balai BPOM, Jumat (25/5).

Pius Lustrilanang mengatakan, pada Ramadan ini pihaknya memantau peredaran makanan di Palembang. Saat sidak di Pasar KM 5, ditemukan banyak sekali pangan yang mengandung boraks, formalin, dan rodamin.

“Kami ingin tahu pengawasan Balai BPOM Palembang. Karena masih banyak ditemukan pangan mengandung bahan berbahaya,” ujarnya.

Pius mengimbau agar Balai BPOM terus berkoordinasi dengan instansi terkait untuk memantau peredaran makanan. “Balai BPOM harus meningkatkan kinerjanya. Jangan bekerja sendiri.  Bila perlu bentuk tim satgas, gabungan Balai BPOM dengan Dinkes, Dinas Perdagangan, dan Polisi. Lakukan pemantauan secara rutin agar masyarakat terhindar dari makanan yang tidak sehat,” tegasnya.

Di sisi lain Pius mengakui, minimnya pengawasan Balai BPOM Palembang itu dikarenakan SDM yang belum lengkap. “SDM di sini tidak bisa mengcover semua masalah. Karena kita melihat problemnya ternyata SDM nya tidak mencukupinya karena hanya 72 orang untuk mengcover 17 kabupaten/kota. Selain itu, 3 pejabat eselon III masih kosong.  Kita berharap BPOM Pusat bisa memberikan solusi SDM yang belum lengkap di sini,” ucapnya.

Ketika disinggung pelaku produksi tahu dan mie berformalin terus mengulangi perbuatan mencampur formalin pada produknya, Pius menuturkan, Komisi IX DPR RI akan terus menerus upayakan payung hukum untuk menyelamatkan konsumen.

“Kita buat RUU Pengawasan Obat dan Makanan serta distribusinya. Kita berharap sanksi yang ada bisa memberikan  efek jera. Sanksi itu disesuaikan dengan Undang-Undang. Tapi Pengadilan yang menentukan, karena eksekusinya di pengadilan,” katanya.

Sementara itu, anggota DPR RI Irma Suryani mengatakan, dari dulu sampai sekarang masalah tahu dan mie berformalin terus berulang . Bahkan sampai sekarang masih banyak juga mie dan tahu berformalin.

“Semestinya Balai BPOM,  Polri, Dinas Kesehatan, dan lainnya harus bekerjasama menurunkan persentase peredaran tahu dan mie berformalin. Tahun ini harusnya persentase peredaran tahu dan mie berformalin di bawah 5 persen. Kalau di atas 20 persen itu masih tinggi,” bebernya.

Terhadap masalah ini, Kepala Balai BPOM Palembang Dra Dewi Prawitasari, Apt, MKes mengatakan, pada bulan Ramadan pihaknya terus melakukan pengawasan pasar beduk dan pasar tradisional.

Penggunaan bahan berbahaya di pasar tradisional masih ditemukan 21,18 persen. Angka ini menurun dari tahun lalu 23,21 persen. Untuk pengawasan di pasar beduk penggunaan bahan berbahaya mencapai 37,05 persen 2017 angka ini tinggi melebihi nasional.

“Tahun 2018 ini kami sudah melakukan penindakan kepada empat produksen tahu dan mie, peredaran tahu dan mie berformalin pada 2018 ini diangka 20,28 persen. Mungkin karena empat produsennya sudah digulung. Kami akan terus melakukan penindakan pabrik tahu dan mie,” paparnya.

Dewi mengungkapkan, untuk menurunkan persentase peredaran pangan berformalin, pihaknya melakukan pembinaan kepada pelaku usaha.

“Bertahun-tahun penggunaan formalin ini masih tinggi. Tahun ini kami dan Dinkes melakukan pembinaan imtek untuk produsen pempek dan kemplang. Pempek tidak ada yang berformalin. Untuk produsen tahu dan mie ini mereka tidak jera. Sudah dihukum dan tidak jera. Setelah keluar mereka buat lagi,” ucapnya.

Oleh sebab itu, lanjut Dewi, salah satu cara menurunkan penggunaan formalin pada tahu dan mie adalah dengan menanbahkan zat pemahit pada formalin. “Ada satu produsen formalin, yang memberikan zat pemahit. Sudah kewajiban produsen formalin menambahkan zat pemahit, agar formalin tidak lagi dicampurkan ke makanan,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Sumsel Lesty Nurainy mengatakan, tupoksi Dinkes adalah melakukan pembinaan. Pembinaan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kemudian Dinkes Kabupaten/Kota melakukan pembinaan di puskemas.

“Kendalanya adalah penganggaran, karena ada Dinkes Kabupaten/Kota ada yang tidak ada anggaran.Kita berharap formalin dan boraks tidak mudah didapat,” katanya.

Masih soal perdagangan makanan berformalin, Plt Dinas Perdagangan Sumsel Yustianus mengatakan, masalah penyaluran bahan berbahaya harus ada surat izin khusus, yang dikeluarkan Dinas Perdagangan Sumsel.  #nti

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here