
Palembang, SumselSatu.com
Dyana Fitri merasa menjadi korban karena diberhentikan dalam tempat ia bekerja. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan PT Abbott Products Indonesia kepadanya dinilainya menyalahi peraturan perundang-undangan.
Dyana berharap hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri (PN) Palembang mengabulkan gugatannya.
“Saya berharap hakim yang memeriksa perkara gugatan saya dapat mengabulkan gugatan saya untuk seluruhnya,” ujar Dyana kepada SumselSatu, usai sidang di PN Palembang, Rabu (24/9/2025).
Dalam persidangan yang dipimpin Hakim Chandra Gautama, SH, MH, didampingi Hakim K M Rusdi, SE, MM, dan Ahmad Bayani, SH, dan dihadiri Kuasa Hukum PT Abbott Products Indonesia Elvina Anggraini, SH, para pihak menyerahkan bukti-bukti tambahan.

(FOTO: SS1/IST)
Perempuan yang telah sembilan tahun bekerja di perusahaan modal asing (PMA) yang memproduki susu anak terkenal itu menyatakan, PHK terhadap dirinya tanpa ada surat peringatan (SP) atau proses skorsing terlebih dahulu sesuai peraturan perusahaan.
“Saya sudah sembilan tahun jadi karyawan, selama ini saya bekerja dengan baik, punya banyak prestasi di perusahaan dan tidak pernah kena surat peringatan dari perusahaan. PHK sepihak ini tidak sesuai dengan prosedural Undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia,” ujar Dyana.
“Mengingat saya adalah tulang punggung keluarga dengan status single parent, saya hanya meminta keadilan kepada para majelis hakim untuk membantu memberikan keadilan. Saya percaya masih ada hati nurani manusia yang bisa memanusiakan manusia,” tambahnya.
Dyana mengatakan, gugatan yang ia ajukan untuk memperjuangkan haknya sebagai karyawan/pekerja.
“Saya cuma mau teman yang di luar sana tau dan berani perjuangkan hak-hak mereka dan tidak terus kena tindas. Saya juga tidak menuntut macam-macam, saya cuma mau diperlakukan adil dan punya harga diri,” tandas Dyana.
Persidangan perkara gugatan itu akan dilanjutkan pada 1 Oktober mendatang dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi.
“Saya menilai ada tindakan tergugat yang ada unsur diskriminasi. Saya memohon majelis hakim menghukum tergugat untuk mempekerjakan kembali pada posisi dan jabatan sebelumnya, bukan meminta pesangon,” kata Dyana.
Terkait gugatan, dalam pokok perkara pengugat meminta agar majelis hakim mengabulkan gugatan untuk seluruhnya. Majelis hakim diminta menyatakan perbuatan tergugat yang melakukan PHK, melalui surat pemberitahuan tanggal 19 Maret 2025 terhadap penggugat merupakan PHK sepihak yang bertentangan dengan Undang-Undang RI No 06/2023 tentang Cipta Kerja jo PP No 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, sehingga tidak sah dan batal demi hukum.
Penggugat meminta majelis hakim menghukum tergugat untuk mempekerjakan kembali penggugat pada posisi dan jabatan sebelumnya. Kemudian, menghukum tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada penggugat sebesar Rp1 juta untuk setiap hari keterlambatan pelaksanaan putusan sejak dibacakan.
Penggugat meminta majelis hakim menetapkan putusan dapat dilaksanakan secara serta merta meskipun ada upaya hukum, baik kasasi, peninjauan kembali maupun perlawanan atas putusan dalam perkara tersebut (uit voer baar bij vooraad). Lalu, menghukum tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara. Dan apabila majelis hakim yang mengadili dan memeriksa perkara a quo berpendapat lain, penggugat memohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aquo et Bono).
Ditambahkan Dyana, tergugat menunda penyerahan pembayaran dan menghentikan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan atas nama dirinya.
“Jelas ini bentuk tekanan kepada saya agar menerima penyelesaian pemutusan hubungan kerja. Padahal itu adalah hak saya yang harus tetap dibayarkan sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap,” kata Dyana.
Ia menyampaikan, hal itu mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 68/PUU-XXI/2023 tentang Perlindungan Hak-Hak Buruh pada Undang-Undang Cipta Kerja UU Ketenagakerjaan Angka 21 yang menyatakan, para pihak melaksanakan kewajiban sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang PPHI.
“Saya juga sudah mengadukan tergugat Ditjen Binwasnaker dan Kemenaker RI,” tambah Dyana.
Sebelumnya, pada Rabu (17/9/2025) lalu, Kuasa Hukum PT Abbott Products Indonesia Elvina Anggraini menyampaikan, PHK telah dilakukan berdasarkan peraturan perusahaan.
“Karena ada kesalahan (PHK-red). Ada kendala pembayaran dari apotik di Lemabang,” kata Elvina.
Terkait penggugat tidak menandatangani surat PHK, Elvina mengatakan, PHK tidak menunggu harus ditandatangani karyawan. “Itu (PHK-red) keputusan perusahaan,” kata Elvina. #arf