
Palembang, SumselSatu.com
Tim Kuasa Hukum Alex Noerdin menilai dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Palembang terhadap klien mereka kabur. Mereka meminta Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palembang membatalkan dakwaan tersebut.
Permintaan Tim Kuasa Hukum Alex Noerdin itu disampaikan di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Palembang, di Museum Tekstil Sumsel, Palembang, Senin (1/12/2025). Sidang perkara Alex Noerdin dan Eddy Hermanto itu dipimpin Hakim Fauzi Isra, SH, MH.
Di persidangan, Tim Kuasa Hukum Alex Noerdin dari Kantor Hukum Titis Rachmawati, SH, MH, membacakan eksepsi (keberatan) atas surat dakwaan JPU secara bergantian. Pembacaan diawali Titis Rachmawati.
Tim Kuasa Hukum Alex Noerdin memohon kepada majelis hakim agar memutuskan menerima dan mengabulkan eksepsi Alex Noerdin untuk seluruhnya.
“Menyatakan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara: PDS-12/L.6.5/Fd.1/08/2025 dan Nomor Reg. Perkara: PDS-13/L.6.5/Fd.1/08/2025 tanggal 20 Oktober 2025 batal demi hukum,” ujar penasehat hukum Alex.
Mereka juga meminta majelis hakim menyatakan pemeriksaan perkara Alex Noerdin tidak dapat dilanjutkan dan memerintahkan agar Alex dibebaskan dari seluruh dakwaan, serta membebankan biaya perkara kepada negara.
“Atau apabila majelis hakim berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya,” kata penasehat hukum Alex.

Sebelumnya, Titis Rachmawati menyampaikan, pihaknya menilai surat dakwaan JPU disusun secara tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap (obscuur libel). Surat dakwaan tidak menjelaskan cara dan bentuk perbuatan Alex dalam meperkaya Aldrin L Tando.
JPU M Syaran Jafizhan, SH, MH, mendakwa Alex Noerdin selaku Gubernur Sumsel dan Eddy Hermanto selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya (PUCK) Sumsel dan Ketua Panitia Pengadaan Badan Usaha Mitra Kerjasama Bangun Guna Serah Aset Pemerintah Provinsi Sumsel, bersama-sama dengan Harnojoyo selaku Walikota Palembang (berkas terpisah), Raimar Yousnadi selaku Kepala Cabang PT Magna Beatum Palembang (berkas terpisah), dan Aldrin Tando (DPO) selaku Pemegang Saham dan Direktur PT Magna Beatum, telah melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Titis menyampaikan, dakwaan tidak menjelaskan pembagian peran dan bentuk penyertaan sebagaimana dimaksud Pasal 55 (1) ke-1 KUHP. Dakwaan tidak menunjukkan hubungan kausalitas antara tindakan Alex dan timbulnya keuntungan pihak lain. Ia menambahkan, dakwaan menyatukan perbuatan Alex dan Eddy tanpa kejelasan peran, niat, maupun kehendak bersama. Seharusnya berkas perkara Alex dan Eddy tidak dijadikan satu atau digabung.
Kata Titis, pihaknya menilai tidak terdapat keuntungan pribadi maupun keuntungan bagi pihak lain yang timbul dari tindakan Alex. Seluruh tindakan bersifat administratif karena Alex sebagai gubernur dan sah menurut hukum, sehingga tidak dapat dipidana.
Tim Kuasa Hukum Alex Noerdin menilai dakwaan melanggar prinsip individual liability, karena menempatkan Alex bertanggungjawab atas perbuatan administratif pejabat teknis. Padahal hukum pidana hanya mengenal pertanggungjawaban atas perbuatan pribadi.
Mereka juga menilai tidak adanya tempus dan locus delicti yang jelas, hanya disebut rentang tahun 2014-2023, menyebabkan dakwaan tidak memenuhi syarat sebagaimana Pasal 143 (2b) KUHAP dan melanggar hak konstitusional terdakwa untuk mengetahui dengan pasti tuduhan yang dihadapinya.
Ditambahkan Titis, tidak ada uraian mengenai kesepahaman pembagian peran maupun kerjasama nyata antara Alex dan Terdakwa II, menjadikan dakwaan kehilangan unsur penyertaan. Kemudian, kerugian negara yang dijadikan dasar dakwaan tidak bersifat aktual, melainkan hanya potensi ekonomi yang hilang, sehingga tidak dapat dijadikan dasar pemidanaan berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor.
“Apalagi BPKP menyatakan adanya kerugian berupa bangunan cagar budaya dan pendapatan PT Magna Beatum yang berasal dari 193 warga masyarakat. Bukan dari keuangan negara. Dengan demikian perkara ini bukan tindak pidana korupsi melainkan sengketa perdata,” katanya.
Selain itu, terdapat juga kekeliruan redaksional dan kesalahan identitas dalam dakwaan.
Tim Kuasa Hukum Alex menyampaikan, perjanjian kerjasama antara Pemprov Sumsel dengan PT Magna Beatum secara tegas mengatur penyelesaian sengketa melalui Badan Aebitrase Nasional Indonesia (BANI). Sehingga perkara ini merupakan ranah hukum perdata, bukan Tipikor. Kompetensi absolut perkaranya berada pada lembaga arbitrase, bukan peradilan pidana.
“Berdasarkan seluruh kekaburan dan ketidaktepatan tersebut surat dakwaan JPU secara formil cacat hukum dan harus dinyatakan batal demi hukum sesuai Pasal 143 (3) KUHAP, serta tidak dapat dijadikan dasar pemeriksaan perkara terhadap Terdakwa I Ir H Alex Noerdin, SH,” kata Titis. #arf









