Disusun Oleh:
Muhammad Ronald Liansah, Muhammad Aidil Akbar, Louis Frima Suganda.
Mahasiswa Program Studi (Prodi) Manajemen Semester 5, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Tridinanti (Unanti) Palembang.
KEWIRAUSAHAAN di negara berkembang seperti Indonesia bisa dibilang punya dua sisi yang menarik. Di satu sisi, masyarakatnya masih banyak yang memegang nilai-nilai tradisional dan lebih memilih pekerjaan tetap karena dianggap aman. Tapi di sisi lain, perkembangan dunia yang semakin terbuka lewat globalisasi dan teknologi justru memberi peluang besar bagi mereka yang berani mencoba jadi pengusaha (World Bank, 2023).
Sekarang ini muncul generasi muda yang mulai berani keluar dari zona nyaman. Mereka tidak hanya ingin mencari uang, tapi juga ingin membuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Dari situ terlihat bahwa berwirausaha di negara berkembang bukan sekadar urusan bisnis, tapi juga bagian dari perubahan cara berpikir dan membangun mentalitas bangsa agar lebih mandiri dan kreatif.
Pada sebuah negara maju atau berkembang, kewirausahaan atau entrepreneurship telah menjadi salah satu cara dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Kewirausahaan juga sering digunakan sebagai penggerak utama atau mesin pembangunan ekonomi.
Dalam era globalisasi dan teknologi yang cepat berubah, peran wirausaha semakin penting untuk menciptakan inovasi, membuka lapangan pekerjaan, mengembangkan infrastruktur, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kewirausahaan di dalam laporan Bank Dunia menjadi kontributor penting karena mewakili 90% dunia usaha dan lebih dari 50% lapangan kerja di seluruh dunia, bahkan telah menyumbang 40% Produk Domestik Bruto (PDB) di negara-negara berkembang.
Pada ekonomi Indonesia, kewirausahaan bisa menjadi salah satu jawaban mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebab, perekonomian RI kini berada dalam bayang-bayang pelemahan daya beli, yang dipengaruhi kenaikan suku bunga dan tingginya inflasi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia kuartal I-2024 tumbuh sebesar 5,11 persen secara year-on-year. Struktur pengeluaran PDB masih didominasi konsumsi rumah tangga dengan porsi mencapai 54,93%, investasi (Pembentukan Modal Tetap Bruto/PMTB) 29,31%, ekspor barang dan jasa 21,37%, konsumsi pemerintah 6,25%, serta lembaga non profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) 1,43%.
Untuk itu, dengan terus meningkatkan wirausaha melalui kebijakan tepat dan lingkungan bisnis yang kondusif diharapkan lapangan kerja semakin terbuka lebar, meningkatkan pendapatan masyarakat dan akhirnya ikut mendorong kontribusi konsumsi masyarakat, sehingga mengangkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan dan inklusif.
Hambatan Budaya: Tradisi yang Masih Mengikat
Salah satu hal yang paling sulit diubah adalah pola pikir masyarakat yang masih terikat oleh tradisi. Masih banyak orang tua yang berpikir bahwa pekerjaan terbaik adalah jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau kerja kantoran. Pandangan seperti ini membuat anak muda sering ragu untuk memulai usaha karena dianggap berisiko atau tidak pasti (Hofstede, 2020).
Menurut laporan Global Entrepreneurship Monitor (GEM, 2024), sekitar setengah dari masyarakat di negara berkembang masih takut memulai usaha karena takut gagal dan kurang mendapat dukungan dari keluarga. Pola pikir ‘takut gagal’ inilah yang akhirnya membuat banyak ide bagus berhenti di tengah jalan.
Selain itu, sistem pendidikan di banyak negara berkembang juga belum sepenuhnya mendukung semangat wirausaha. UNESCO (2023) menyebutkan bahwa pendidikan masih terlalu fokus pada teori dan belum banyak melatih kreativitas atau keberanian berinovasi. Mahasiswa lebih sering diajarkan cara mencari pekerjaan daripada menciptakan pekerjaan sendiri. Padahal di era sekarang, kemampuan beradaptasi dan berpikir kreatif adalah kunci utama untuk bisa bersaing.
Budaya kolektif juga punya peran besar. Dalam masyarakat seperti di Indonesia, keputusan seseorang sering dipengaruhi oleh keluarga atau lingkungan sekitar. Kalau lingkungan tidak mendukung, banyak anak muda akhirnya memilih jalan aman daripada menanggung risiko sosial karena gagal. Padahal, kegagalan justru bagian penting dari proses belajar dalam dunia wirausaha.

Peluang Global: Dunia yang Semakin Terbuka
Walau ada banyak hambatan budaya, era globalisasi justru membuka banyak pintu baru. Dengan teknologi digital, pengusaha dari negara berkembang bisa menjual produk mereka ke pasar luar negeri tanpa harus punya toko fisik. McKinsey Global Institute (2024) melaporkan bahwa Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang memanfaatkan teknologi digital bisa meningkatkan ekspor sampai 35%. Ini menunjukkan bahwa inovasi bisa jadi solusi untuk menembus batas.
Contohnya bisa dilihat dari startup asal Indonesia seperti Tokopedia, Bukalapak dan Shopee. Mereka sukses karena bisa menyesuaikan teknologi dengan kebiasaan masyarakat lokal, misalnya lewat pembayaran via transfer bank atau sistem Cash on Delivery (COD) atau Bayar di Tempat. Artinya, untuk sukses secara global, kita tidak harus meninggalkan budaya sendiri.
Media sosial juga jadi alat penting bagi pengusaha muda. Berdasarkan data We Are Social (2025), sekitar 70% konsumen dunia tertarik dengan produk dari negara berkembang karena punya ciri khas budaya yang unik. Hal ini berarti budaya yang dulu dianggap penghambat, kini malah jadi nilai tambah yang dicari orang di pasar global.
Adaptasi Budaya: Menyatukan Lokal dan Global
Salah satu kunci sukses wirausaha di negara berkembang adalah kemampuan menggabungkan nilai lokal dengan strategi global. Nilai seperti gotong royong, kejujuran, dan kerja sama bisa jadi identitas kuat yang membedakan produk lokal dari yang lain (GEM, 2024).
Contohnya bisa dilihat dari bisnis kopi asal Indonesia yang mulai dikenal di Eropa. Bukan cuma karena rasa kopinya yang enak, tapi juga karena cerita di baliknya tentang petani lokal, lingkungan, dan budaya gotong royong. McKinsey (2024) menilai bahwa strategi seperti ini membangun hubungan emosional dengan konsumen dan menumbuhkan loyalitas yang kuat.
World Bank (2023) juga menyebutkan bahwa negara berkembang yang bisa menggabungkan nilai budaya dengan model bisnis modern punya tingkat keberhasilan startup lebih tinggi, bahkan mencapai 60%. Jadi, bisa dibilang bahwa adaptasi budaya adalah salah satu jalan menuju kesuksesan di pasar global.
Pemasaran Digital: Senjata Anak Muda
Di era digital sekarang, promosi tidak lagi bergantung pada modal besar, tapi pada ide kreatif dan kemampuan bercerita. We Are Social (2025) mencatat bahwa penggunaan strategi digital bisa meningkatkan penjualan UMKM sampai 50%. Misalnya, produk lokal seperti batik, tenun, atau makanan khas bisa dikemas secara modern dengan gaya yang menarik tanpa menghilangkan unsur budaya aslinya.
Storytelling menjadi kunci utama di sini. Ketika pengusaha mampu bercerita tentang nilai dan asal-usul produknya, konsumen akan merasa lebih dekat. Hal sederhana seperti ini bisa membuat produk lokal punya daya tarik kuat di pasar global.
Pendidikan dan Teknologi: Fondasi Harus Diperkuat
Kalau ingin memperkuat semangat wirausaha di negara berkembang, maka pendidikan harus jadi fokus utama. UNESCO (2023) menyarankan agar pendidikan kewirausahaan tidak hanya mengajarkan teori, tapi juga melatih mental berani, kreatif, dan adaptif. Mahasiswa perlu dibiasakan berpikir sebagai pencipta, bukan hanya pencari kerja.
Pemerintah, kampus, dan sektor swasta juga sebaiknya bekerja sama melalui program inkubator bisnis, pendanaan startup, atau pelatihan digital. Dengan begitu, generasi muda bisa lebih siap menghadapi tantangan global dan menciptakan inovasi yang bermanfaat (World Bank, 2023).
Kewirausahaan di negara berkembang memang punya tantangan besar, terutama dari sisi budaya dan cara berpikir. Tapi kalau dilihat dari peluang global yang terbuka lebar, sebenarnya masa depan wirausaha di negara seperti Indonesia sangat menjanjikan. Kuncinya ada pada kemampuan anak muda untuk berani mencoba, beradaptasi, dan tetap membawa nilai-nilai lokal ke dalam dunia bisnis. Dengan begitu, kewirausahaan bukan hanya soal mencari untung, tapi juga tentang membawa perubahan positif bagi masyarakat dan bangsa. *
✍️ Catatan :
Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktikum Kewirausahaan Universitas Tridinanti.










