
Palembang, SumselSatu.com
Di bawah langit mendung Kota Palembang, Jumat (12/12/2025), sejarah kota ini seolah berjalan kembali di atas aspal jalan yang basah diterpa hujan.
Bukan iring-iringan kendaraan mewah, bukan pula protokoler kebesaran, melainkan langkah kaki seorang Sultan Palembang yang menyusuri jalanan kota bersama rakyatnya.
Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV RM Fauwaz Diradja, berjalan kaki memimpin barisan aksi 12.12 Penyelamatan Benteng Kuto Besak (BKB). Ia berjalan usai melaksanakan Salat Jumat.
Dari pelataran Air Mancur depan Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo hingga ke Kantor Gubernur Sumsel, Sultan Palembang ini berjalan tanpa jarak, tanpa pembatas, dan tanpa keistimewaan.
Jarak yang ditempuh tidaklah pendek, sekitar 2,5 hingga 3 kilometer. Namun, setiap langkah Sultan Palembang justru menjadi penanda bahwa perjuangan menjaga warisan leluhur tidak bisa diwakilkan, apalagi dinegosiasikan dengan kenyamanan.
Dengan mengenakan busana adat Melayu Palembang berwarna hitam, warna kebesaran yang sarat makna keteguhan dan kewibawaan. Di kepala Sultan Palembang ini tersemat tanjak, simbol kehormatan dan kepemimpinan adat Melayu. Pakaian itu tidak hanya menampilkan identitas, tetapi juga pesan bahwa yang sedang diperjuangkan bukan kepentingan pribadi, melainkan marwah peradaban masa lalu yang mulai hilang.
Tak ada raut lelah berlebihan di wajah Sultan. Sesekali ia menoleh, menyapa peserta aksi para zuriat Kesultanan Palembang Darussalam, sejarawan, budayawan, seniman, dan masyarakat umum. Langkahnya mantap, ritmenya tenang, seolah menyampaikan bahwa perjuangan ini harus dijalani dengan kepala tegak dan hati yang jernih.
Bagi masyarakat Palembang yang menyaksikan, pemandangan itu menjadi ironi sekaligus tamparan halus seorang Sultan Palembang, pewaris sejarah dan kebesaran masa lalu, turun ke jalan, berjalan kaki, demi menyelamatkan satu-satunya Kraton peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam yang masih utuh berdiri yang dibuat oleh pribumi itulah Kraton Kuto Besak atau dikenal sebagai Benteng Kuto Besak.
Dalam barisan long march, Sultan tidak berada di depan sendirian, tidak pula dikawal berlapis. Ia berada di tengah-tengah massa, berjalan seiring, menyatu dalam derap langkah kolektif. Tidak ada pengeras suara di tangannya, namun kehadirannya berbicara lebih lantang daripada orasi apa pun.
Langkah kaki SMB IV seolah menghidupkan kembali filosofi kepemimpinan Melayu. ‘Raja adalah payung rakyat, dan rakyat adalah tanah tempat raja berpijak’.
Setiap meter yang ditempuh Sultan adalah pesan simbolik bahwa Benteng Kuto Besak bukan sekadar bangunan batu, melainkan saksi sejarah Kesultanan Palembang Darussalam, pusat pemerintahan, pertahanan, dan peradaban yang tidak boleh dikorbankan oleh kepentingan pembangunan jangka pendek oleh pihak-pihak tertentu.
Sikap Sultan cukup jelas dan tak bisa di bantah oleh siapapun, tetap menolak pembangunan Gedung 7 lantai pengembangan RS dr AK Gani yang berada di kawasan inti Benteng Kuto Besak.
“Benteng Kuto Besak adalah warisan sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Ini bukan ruang bisnis, bukan pula kawasan yang bisa dibangun tanpa pertimbangan sejarah dan budaya,” kata Sultan dengan lantang.
Ia menyayangkan pembangunan tersebut dilakukan tanpa koordinasi dengan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dan pihak-pihak yang memiliki kompetensi dalam pelestarian sejarah.
“Kalau ada pembangunan di kawasan BKB, harus melalui kajian yang benar dan melibatkan pihak terkait. Saya dan seluruh zuriat Kesultanan Palembang Darussalam dan masyarakat Palembang minta pembangunan gedung 7 lantai itu tidak dilanjutkan,” katanya.
Sultan mendesak pemerintah agar Benteng Kuto Besak dibuka dan difungsikan sebagai kawasan cagar budaya yang hidup, bukan kawasan tertutup yang kehilangan ruh sejarahnya.
“BKB harus menjadi ruang edukasi, ruang budaya, dan ruang identitas bagi masyarakat Palembang dan Sumatera Selatan,” katanya.
Aksi ini bukan sekadar demonstrasi. Langkah kaki seorang Sultan yang menyusuri jalan kota Palembang ke Kantor Gubernur Sumsel ini adalah pesan moral dan sejarah bahwa warisan leluhur harus dijaga dengan keberanian, keteladanan, dan pengorbanan.
Di tengah zaman ketika kekuasaan sering diukur dari jabatan dan anggaran, Sultan lebih memilih menunjukkan bentuk kepemimpinan yang lain, kepemimpinan yang hadir secara fisik, berjalan bersama rakyat, dan berdiri paling depan ketika marwah budaya terancam.
Hari itu, Palembang tidak hanya menyaksikan sebuah aksi penolakan pembangunan pembangunan gedung tujuh lantai Rs dr Ak Gani di BKB, tapi Palembang menyaksikan seorang Sultan berjalan kaki untuk menjaga kehormatan sejarahnya, sebuah pemandangan langka yang kelak di masa depan akan dikenang sebagai bagian dari perjalanan panjang Benteng Kuto Besak.
Budayawan Palembang Vebri Al Lintani menilai pembangunan gedung 7 lantai telah melanggar undang undang cagar budaya.
“Hentikan bangunan 6 lantai untuk pengembangan RS AK Gani yang didirikan oleh Kesatuan Kesehatan Kodam II/Sriwijaya di zona inti kawasan Cagar Budaya BKB,” katanya.
Ia menjelaskan, Kuto Besak atau sekarang disebut dengan Benteng Kuto Besak adalah bangunan monumental Kesultanan Palembang Darussalam yang masih dapat dilihat fisiknya.
Kuto ini didirikan oleh Sultan Muhammad Bahauddin (ayahanda Sultan Mahmud Badaruddin II) pada tahun 1780, ketika Kesultanan Palembang Darussalam berada di puncak masa kejayaan.
“Dibandingkan dengan benteng di daerah lain di nusantara, BKB merupakan satu-satunya benteng yang dibangun oleh pribumi. Sedangkan di tempat lain, rata-rata dibangun oleh kolonial,” katanya.
Koordinator aksi RM Genta Laksana menambahkan, sejak awal didirikan, BKB berfungsi sebagai pusat pemerintahan yang didalamnya terdapat keraton atau istana Sultan dan para petinggi inti Kesultanan. Disamping itu, BKB juga menjadi pusat pertahanan yang dapat dibuktikan dari peristiwa peperangan yang terjadi pada tahun 1812, 1819, dan 1821.
Saat ini, BKB telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.09/PW.007/MKP/2004, tanggal SK: 2004-03-03. Dari kajian sejarah pertahanan, BKB telah pula masuk dalam buku ‘Warisan Budaya Bernilai Pertahanan Defence Heritage Indonesia’ Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, karya Gerald Theodorus L Toruan dan Dr Jeanne Francoise.
“Sebagai cagar budaya, BKB seharusnya dapat difungsikan dan dimanfaatkan sebagaimana benteng cagar budaya di daerah lain di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” katanya.
Namun, BKB saat ini dikuasai oleh Kesatuan Kesehatan Kodam (KESDAM) II/Sriwijaya yang tampaknya masih sangat asyik dengan kegiatan bisnis rumah sakit dan pendidikan keperawatan, sehingga sulit sekali menyerahkan pengelolaannya kepada masyarakat sipil.
Menurutnya, pendirian 6 lantai ini recananya akan diteruskan pembangunanya atas Bantuan Keuangan Bersifat Khusus (BKBK) dari Gubernur Sumsel. Namun, sangat disayangkan bangunan di zona inti BKB ini diduga tidak sesuai dengan kaidah norma Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Perda Kota Palembang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya dan dikhawatirkan akan merusak status dan kondisi cagar budaya BKB.
“Pengembangan RS AK Gani merupakan hak Kesdam II/Sriwijaya, namun seharusnya tidak berada di kawasan BKB. Untuk itu, apabila rencana pendirian bangunan 6 lantai tersebut akan dilanjutkan dengan dana BKBK, bukankah akan lebih baik dana tersebut dibelikan lahan untuk pembangunan RS AK Gani, sehingga tidak mengganggu cagar budaya BKB,” katanya.
Dalam aksi ini Genta mengatakan pihaknya memberikan beberapa tuntutan ke Gubernur Sumsel dan Kodam II Sriwijaya yaitu hentikan bangunan 6 lantai untuk pengembangan Rumah Sakit AK Gani yang didirikan oleh Kesatuan Kesehatan Kodam II/Sriwijaya di zona inti kawasan Cagar Budaya BKB.
Lalu selamatkan BKB dari potensi yang mengancam perusakan sturuktur dan bangunannya, revitalisasi dan fungsikan BKB sebagaimana cagar budaya yang dapat membawa manfaat untuk kepentingan identitas dan marwah Kesultanan Palembang Darussalam, edukasi sejarah dan kepariwistaan Sumatera Selatan, khususnya Kota Palembang.
Selain itu, mengusulkan kepada Gubernur Sumatera Selatan dan Wali Kota Palembang agar menyediakan lahan di tempat lain untuk para TNI.
Dr Kemas A R Panji menyayangkan adanya pembangunan gedung pengembangan Rs dr Ak Gani tersebut, dia mengusulkan pengembangan Rs dr Ak Gani lebih baik di tempat lain.
“Untuk pengembangan pariwisata di BKBK kita harapkan ada sinergi antara Kodam II Sriwijaya dengan Pemko Palembang dan Pemprov Sumsel agar masyarakat bisa mengakses dan masuk BKB walaupun di sudut-sudut tertentu. Ke depan harus ada koordinasi antara Kodam II Sriwijaya dalam pengembangan BKB dengan pihak terkait seperti TACB dan dinas terkait,” katanya.
Plt Kepala Dinas Kebudayaan & Pariwisata Sumatera Selatan Panji Tjahjanto mengapresiasi aksi demo yang berjalan dengan damai, santun dan penuh nilai budaya.
“Kami akan selalu menyambut aspirasi seperti ini, diskusi membahas masalah budaya dan pengamanan cagar budaya, kami terbuka untuk sharing pendapat,” katanya.
Dan aspirasi ini menurutnya akan diteruskan ke Gubernur Sumsel .
“Kami tegaskan belum ada dana BKB dalam renovasi Rs Ak Gani mungkin kita kawal semua, semoga semuanya berjalan dengan baik terutama penganggaran untuk penyediaan lahan relokasi Rs Ak Gani akan kami sampaikan ke pak Gubernur dan kita alan terus komunikasi,” katanya.
Masagus Alharis, Kabid Pembangunan dan Lingkungan PU Perkimtan Provinsi Sumsel menambahkan, BKBK untuk Rs Ak Gani belum ada.
“Itu masih dalam usulan pihak Kesdam jadi belum ada rekomendasi dari pak Gubernur jadi dana itu dalam usulam, masih dalam pembahasan dan harus diverifikasi dulu tidak harus kita langsung memberi dan ini bukan bersifat BKBK ini bersifat hibah untuk pembangunan rumah sakit, jadi untuk BKBK tahun 2025 ini tidak uang untuk ke Rumah Sakit Ak Gani,” katanya. #fly









