OLEH: Dr Rifani Akbar Sulbahri, SE, MM, MAk, Ak,CA, Asean CPA, CSRS,
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya (Unsri), Wakil Sekretaris Ikatan Akuntan Indonesia Wilayah Sumsel.
DI tengah arus globalisasi dan tekanan krisis iklim, dunia usaha menghadapi tantangan ganda tuntutan transparansi kinerja keuangan dan akuntabilitas terhadap dampak ekonomi, sosial dan lingkungan.
Akuntansi keberlanjutan, yang dulunya dianggap sebagai ranah pelengkap, kini berkembang menjadi komponen utama dalam pengambilan keputusan strategis perusahaan. Namun dalam praktiknya, penerapan akuntansi keberlanjutan tidak bisa dilepaskan dari kemajuan teknologi digital. Digitalisasi menjadi elemen krusial dalam menjawab kebutuhan pelaporan yang akurat, real time dan terintegrasi.
Akuntansi keberlanjutan mendorong perusahaan untuk tidak hanya menyajikan laporan laba rugi, tetapi juga mengukur dan melaporkan emisi karbon, konsumsi energi, limbah, hingga dampak sosial dari aktivitas bisnis.
Namun, tanpa sistem digital yang memadai, upaya ini berisiko terjebak pada pelaporan simbolik (greenwashing), bukan transformasi yang sejati. Sistem informasi akuntansi konvensional belum mampu menangkap kompleksitas data Environmental, Social and Governance (ESG) secara efisien. Maka, transformasi digital menjadi kebutuhan mutlak, bukan lagi pilihan.
Pemanfaatan big data, kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan blockchain dalam praktik akuntansi membuka peluang besar untuk memperkuat integritas dan kecepatan pelaporan keberlanjutan. Misalnya, perusahaan dapat memanfaatkan sensor IoT untuk secara otomatis mencatat konsumsi energi atau air dalam proses produksi, lalu mengintegrasikannya ke dalam dashboard pelaporan lingkungan.
Blockchain memungkinkan pelacakan rantai pasok yang transparan, sedangkan AI dapat membantu menganalisis data ESG untuk mengidentifikasi risiko keberlanjutan lebih dini.
Sayangnya, adopsi teknologi ini belum merata, terutama di kalangan pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM). Padahal, UMKM menyumbang lebih dari 60% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menyerap mayoritas tenaga kerja. Jika UMKM tidak dilibatkan dalam transformasi akuntansi hijau berbasis digital, maka agenda keberlanjutan nasional akan timpang.
Oleh karena itu, perlu insentif dan kebijakan afirmatif dari pemerintah, subsidi teknologi, pelatihan literasi digital akuntansi, hingga penyederhanaan standar pelaporan ESG untuk UMKM.
Dari sisi pendidikan dan profesi, akuntan masa kini tidak cukup hanya andal dalam menyusun neraca atau laporan laba rugi. Mereka harus memahami indikator keberlanjutan dan mahir dalam teknologi pelaporan digital.
Kurikulum akuntansi harus direformulasi agar menghasilkan lulusan yang adaptif terhadap perubahan iklim bisnis dan teknologi. Demikian pula lembaga profesi akuntansi, perlu terus mendorong akuntan untuk bersertifikasi dalam bidang Sustainability Reporting dan sistem informasi berbasis digital.
Perlu juga dicatat, integrasi akuntansi keberlanjutan dan digitalisasi bukan sekadar upaya administratif, melainkan fondasi untuk membangun trust (kepercayaan) publik. Di tengah krisis iklim, konsumen, investor, dan masyarakat menuntut perusahaan untuk lebih bertanggung jawab.
Laporan keberlanjutan yang dapat diverifikasi dan berbasis data digital akan meningkatkan reputasi perusahaan dan membuka akses terhadap pembiayaan hijau (green finance), baik dari pasar modal maupun lembaga keuangan internasional.
Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pionir di kawasan Asia Tenggara dalam penerapan akuntansi keberlanjutan berbasis digital. Dengan kekayaan alam dan bonus demografi yang dimiliki, bangsa ini dapat menumbuhkan ekonomi hijau yang inklusif dan modern.
Namun, dibutuhkan sinergi antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat sipil untuk mempercepat integrasi ini. Sebab, transformasi tidak akan tercapai hanya dengan regulasi yang baik, tetapi juga dengan kesiapan infrastruktur digital dan ekosistem sumber daya manusia (SDM) yang kompeten.
Seiring perkembangan zaman, peran akuntansi akan semakin strategis dalam mengarahkan dunia usaha ke jalur pembangunan berkelanjutan. Akuntansi bukan hanya alat hitung, melainkan instrumen moral dan teknologi untuk menjaga bumi dan kesejahteraan bersama. Dengan menggabungkan kekuatan akuntansi keberlanjutan dan digitalisasi, kita bisa membangun sistem ekonomi yang tidak hanya efisien, tetapi juga berkeadilan dan ramah lingkungan. *