Palembang, SumselSatu.com
Pada awal tahun 1980, warga Kampung Wisata Anyaman, yang terletak di tepian Sungai Musi, Jalan Faqih Usman, Lorong Prajurit Nangyu, RT 04 RW 02, Kelurahan 3/4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1, Palembang, mengolah daun Nipah (Nypa Fruticans) secara tradisonal menjadi rokok pucuk Nipah.
Pada masa itu, rokok pucuk mengalami masa jaya, hingga di ekspor ke luar negeri seperti ke Jepang, Malaysia dan Singapura. Namun sekarang, seiring menurunnya permintaan pasar, rokok pucuk kalah bersaing dengan rokok konvensional.
Seiring pergantian waktu, masyarakat kini beralih memanfaatkan lidi dari urat daun Nipah menjadi anyaman kerajinan.
“Sejak tahun1980, warga sudah menganyam di Kampung Wisata Anyaman. Namun baru ramai 5 tahun ke belakang dan baru terbentuk di tahun 2022 setelah mengikuti lomba Kampung Kreatif,” ujar Aminudin, Koordinator Kampung Wisata Anyaman.
Aminudin mengatakan, awalnya masyarakat mengolah daun Nipah menjadi rokok pucuk. Namun karena permintaan pasar sudah menurun, masyarakat memanfaatkan lidi Nipah menjadi kerajinan.
“Awalnya yang dibuat hanya tampah (alat yang digunakan untuk menampi, yaitu membersihkan beras dari sekam atau bulir serealia lainnya dari kulitnya). Namun sekarang ada sekitar 20 kerajinan yang dibuat masyarakat seperti tataan gelas, piring pecel lele, wadah permen, wadah buah dan bingkisan parcel,” katanya.
Para pengrajin daun Nipah adalah warga sekitar yang mayoritas adalah perempuan. Mereka mengolah daun Nipah untuk menambah penghasilan keluarga. Kerajinan Nipah dijual ke para langganan, kemudian ke Provinsi Jambi, Lampung hingga Bali.
“Daun Nipah berasal dari Desa Upang, Kabupaten Banyuasin. Satu ikat dibeli seharga Rp5 ribu. Sementara jumlah pengrajin yang terdata sebanyak 152 orang,” ujar Aminudin, yang juga Ketua Rukun Warga (RW) 3/4 Ulu.
Meski begitu ada beberapa kendala yang dihadapi masyarakat. Pertama, masyarakat butuh pemasaran melalui sosial media (Sosmed) dan media untuk membantu mempromosikan agar permintaan pasar meningkat
Kedua, bahan daun Nipah kadang baru datang satu minggu sekali dari Banyuasin, karena harus diangkut melalui kapal. Ketiga, permodalan, karena pengrajin hanya mengambil upahan karena tidak memiliki modal.
“Kalau punya modal sendiri mereka bisa beli bahan sendiri. Sekarang hanya ambil upahan dari Tauke (bos). Mereka butuh modal untuk usaha sendiri,” katanya.
Sejauh ini, kata Aminudin, belum ada bantuan permodalan dari pemerintah. Sementara tawaran bantuan modal sempat ditawarkan Bank Sumsel Babel (BSB), namun dengan agunan atau jaminan.
“Masyarakat tidak memiliki agunan ke bank, karena rumah saja masih ngontrak. Kami mengusulkan dibentuk koperasi pinjaman meski nilai pinjaman hanya Rp2 juta. Kalau pakai agunan berat, masyarakat tidak mampu,” tegasnya.
Terkait pengolahan limbah, masyarakat memiliki Rumah Kompos berbekal bantuan mesin dari Corporate Social Responsibility (CSR) PT Bukit Asam (PTBA).
“Klisak (limbah daun Nipah-red) kita cacah pakai mesin dicampur dengan enceng gondok kemudian dijadikan pupuk kompos (pupuk yang dibuat dari sampah organik). Jadi kami juga ikut mengurangi sampah di Sungai Musi,” katanya. #Fly