Palembang, SumselSatu.com
Setelah menyelesaikan pendidikan di SD Desa Gajah Mati, Chairul S Matdiah, SH, MHKes, melanjutkan pendidikan di SMP Pancadarma Tahun 1978. Di sinilah cerita awal dia berjualan kopi di bawah kolong Jembatan Ampera dimulai.
Ketika itu di tahun 1978, Chairul yang duduk di kelas 1 SMP, sedang berjalan di kawasan 16 Ilir. Tanpa sengaja tanggannya menyenggol keranjang jualan jeruk milik seorang pedagang bernama pak Bus.
“Rupanya pak Bus ini preman hebat di bawah proyek (Jembatan Ampera-red), jual jeruk hanya formalitas saja. Jeruk yang saya senggol kemudian tumpah ke jalan, ada yang hancur ditabrak mobil,” ujar Chairul.
“Aku langsung bilang, pak aku ganti jeruk yang tumpah (jatuh-red), timbanglah berapo (berapa-red) yang tumpah,” sambungnya.
Pak Bus langsung menjawab dia beli jeruk di Pasar 7 Ulu. Timbangannya 50 kilogram (Kg).
“Kau ganti jeruk itu, siap aku ganti,” ujar Chairul menirukan ucapan pak Bus kala itu.
“Ruponyo itu ujian bae, begitu aku siap ganti, dan pak Bus lihat badan aku kecik (kecil-red) kurus, dia langsung bilang tidak perlu kau ganti. Tumpah ini takdir dari Allah Subhanahu wa ta’ala, siapo bae dak biso hindar, dak usah diganti,” sambung pria kelahiran Desa Gajah Mati, Ogan Komering Ilir (OKI), 2 Juli 1964.
“Pak Bus kemudian bertanya apa kerjaan saya, saya bilang baru tamat SD. Mak (Ibu-red) dan bapak di mano tanya pak Bus?, aku jawab ada di Desa Gajah Mati. Sudahlah kau melok (ikut-red) aku bae. Kau jual kopi aku yang belinyo. Tahunyo yang jual di sini beli samo kau galo (semua-red),” katanya lagi.
Tawaran itu langsung diamini Chairul. Dia langsung membeli peralatan untuk berjualan kopi seperti gelas, termos, sendok dan nampan. Juga kopi, gula dan susu ikut dibeli.
“Semuanya aku beli dengan uang sendiri. Pak Bus hanya menyiapkan tempat dan meja untuk meletakkan kopi,” katanya.
Keesokan harinya, dia menemui pak Bus sembari membawa peralatan kopi.
“Kau di sinilah, gek (nanti-red)
aku suruh wong (orang-red) di sini setop beli kopi samo wong lain, beli kopi dengan kau bae. Jadi monopoli (menguasai pasar-red) waktu itu, dio preman, orang takut. Saya ketiban rezeki mendapat untung besar,” ujar Chairul sembari tertawa.
Hari pertama jualan dia mencoba 50 gelas, dan ternyata kurang. Besoknya 100 gelas kopi, juga kurang lagi, bahkan bisa menembus 400 gelas kopi dalam sehari.
“Jadi, beli tidak beli, kopi susu itu sudah aku tarok (letakkan-red) di meja. Kemudian diantar satu-satu sama Darmiat, minum dak minum orang beli. Tapi saat saya ambil lagi gelasnya rupanya diminum, karena gelas sudah kosong,” ucapnya.
Satu gelas besar kopi susu itu dijual 15 rupiah, sehari dapat untung 150 rupiah. Dalam sebulan keuntungan yang didapat mencapai 4500 rupiah.
“Duit (uang-red) waktu itu berlebih-lebih, pak Bus dikasih keuntungan jual kopi tidak mau, dia pun minum kopi bayar. Saya kasih gratis, pak Bus tidak mau,” ucapnya.
Uang yang didapat dari hasil berjualan kopi, dia tabung dan sisanya buat traktir makan teman-temannya. Uang hasil berjualan kopi juga tidak diketahui orangtuanya.
“Bapak tetap kirim uang, tidak pernah tidak kirim uang, karena uang bulanan bapak untuk biaya sekolah dan kontrak rumah. Saya dan Darmiat mengontrak di Jembatan 2 Karang Anyar, Gandus,” kata ayah empat anak itu.
Chairul menceritakan saat tinggal di Tangga Buntung yang dikenal dengan sebutan Texas City atau daerah rawan, dia juga berkenalan dengan preman Tangga Buntung bernama Wak Weng. Nama terakhir bersikap baik dan sering membantu naik mobil angkot Tangga Buntung.
“Waktu pukul 03.00 WIB Subuh mau pergi berjualan kopi lewat Tangga Buntung, kami dicegat Wak Weng, dia tanya mau ke mano kamu kecik-kecik ini, kami nak (mau-red) jualan kopi, saya jawab. Lalu kami dibantu naik mobil angkot Tangga Buntung menuju ke Ampera, mobilnya waktu itu bak belakang (sejenis pickup-red). Kami juga dijaga Wak Weng. Dia bilang kalau ada yang ganggu sebut bae Wak Weng Tangga Buntung,” kenang Chairul yang dari Partai Demokrat itu.
“Wak Weng sekarang masih hidup, dan sesekali masih sempat menjalin silaturahmi,” Chairul menambahkan.
Selain kenangan bersama Wak Weng, ada kenangan lain yang sangat berkesan selama tinggal di Tangga Buntung. Sebab, ada seorang ibu yang biasa disapa Bik Ning yang sangat baik terhadap dia dan adiknya, Darmiat.
“Setiap Bik (bibi-red) Ning masak, pasti kami selalu dikasih makan, dari sejak SMP hingga SMA. Bik Ning kerap masak kepala udang beli di Pioneer (tempat beli kepala udang). Beliau jualan pas di depan kontrakan kami,” katanya.
“Tapi saya tidak sempat membalas jasanya, karena Bik Ning sudah meninggal. Tapi anaknya tetap baik sama saya,” sesal Chairul.
Lalu bagaimana dengan pak Bus?
“Pak Bus sudah meninggal tanggal 15 Agustus 2002. Dia preman yang sangat baik dan rajin bersedekah. Kalau jeruk tidak habis dia bagikan kepada orang yang membutuhkan ,” kenangnya.
Namun, lanjut dia, tahun 1998 saat dia masih menjadi pengacara, pak Bus pernah menghadapnya minta dicarikan istri setelah istri pertamanya meninggal dunia.
“Setelah istrinya meninggal pak Bus menghadap saya, minta carikan istri karena dia mau nikah lagi, tapi tidak ada biaya. Jadi saya carikan istri dan membiayai pernikahannya dari awal. Suatu kebahagiaan bisa balas budi orang. Dulu dia bantu saya, tidak tahu waktu itu saya mau jadi apa dan belum tentu bisa di posisi saat ini kalau tidak dibantu pak Bus. Sekarang giliran saya yang membantunya,” katanya.
Chairul mengatakan, dia sempat putus kontak dengan pak Bus setelah menyelesaikan pendidikan di SMA Bakti Ibu tahun 1984. Namun, Tuhan kembali mempertemukan lewat tangan ayahnya, H Matdiah Faat yang ingin berangkat haji ke Tanah Suci tahun 1997.
“Pak Bus selalu cari saya, di mana Eluk (panggilan Chairul S Matdiah-red), lalu dijadikan Tuhan ketemu waktu emak dan bapak mau berangkat haji. Waktu itu bapak teringat alamat pak Bus, jadi didatangi ke rumah pak Bus dan bilang dia ingin kawin (nikah-red). Jadi diajak bapak ketemu saya. Bapak sudah tahu siapa pak Bus, karena waktu saya jualan kopi sudah ketemu dan menitipkan saya sama pak Bus. Bapak bilang kalau anaknya mau jual kopi, ya sudahlah, bapak izinkan,” katanya. (Bersambung……)