Tarif Global Naik, Digitalisasi ESG Jadi Kunci Bisnis

Rifani Akbar Sulbahri

Dr Rifani Akbar Sulbahri, SE, MM, MAk, Ak,CA, Asean CPA, CSRS.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya (Unsri), Wakil Sekretaris Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Wilayah Sumsel.

PADA akhir Juli 2025, pemerintah Amerika Serikat kembali mengeluarkan kebijakan tarif impor terhadap 69 negara, termasuk Indonesia, dengan tarif mencapai 10 hingga 50 persen.

Kebijakan ini menjadi peringatan bahwa perekonomian global tengah berada dalam kondisi yang sangat dinamis dan tidak terprediksi. Kenaikan tarif bukan hanya memicu beban biaya logistik dan distribusi, tetapi juga menimbulkan tekanan terhadap stabilitas rantai pasok dan keberlanjutan bisnis secara keseluruhan.

Dalam kondisi ini, akuntansi keberlanjutan yang sebelumnya berkembang sebagai pendekatan sukarela, kini menjadi kebutuhan mendesak. Perusahaan tidak lagi cukup hanya menyusun laporan keuangan berbasis laba rugi, tetapi juga dituntut mampu melaporkan dampak sosial dan lingkungan dari aktivitas bisnisnya.

Akuntabilitas terhadap emisi karbon, penggunaan energi, limbah produksi, hingga praktik tata kelola yang etis kini menjadi indikator reputasi yang sangat diperhatikan oleh pemodal, konsumen, dan mitra strategis. Di sinilah peran digitalisasi menjadi sangat vital.

Pelaporan keberlanjutan yang andal tidak mungkin lagi mengandalkan sistem manual atau prosedur administratif yang kaku. Ketika perusahaan dihadapkan pada kebutuhan untuk merespons cepat terhadap perubahan regulasi, krisis pasokan, atau tekanan reputasi, hanya sistem informasi berbasis teknologi yang mampu menyediakan data secara real time dan terintegrasi.

Teknologi seperti Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), dan blockchain telah terbukti memperkuat sistem pelaporan ESG (Environmental, Social, Governance). Dengan IoT, perusahaan dapat memantau konsumsi energi dan emisi karbon secara langsung dari lini produksi.

Dengan AI, data ESG dapat dianalisis untuk memetakan risiko keberlanjutan yang muncul secara dinamis. Sementara blockchain dapat menjamin transparansi rantai pasok, mulai dari bahan baku hingga produk akhir.

Namun demikian, tantangan besar justru datang dari kesenjangan kesiapan, terutama bagi pelaku UMKM. Di Indonesia, lebih dari 64 juta pelaku usaha kecil dan menengah menyumbang lebih dari 60 persen PDB nasional.

Sayangnya, sebagian besar dari mereka belum memiliki akses pada sistem pelaporan digital, apalagi kemampuan menyusun laporan keberlanjutan. Ketika kebijakan global berubah secara drastis, kelompok ini menjadi yang paling rentan terhadap eksklusi dari rantai pasok global maupun pembiayaan hijau.

Oleh karena itu, transformasi akuntansi keberlanjutan tidak boleh hanya menjadi domain perusahaan besar, tetapi harus menjadi gerakan nasional yang melibatkan seluruh pelaku usaha secara inklusif.
Peran pemerintah menjadi krusial.

Diperlukan kebijakan afirmatif berupa subsidi perangkat lunak akuntansi digital, pelatihan literasi ESG berbasis cloud, serta penyusunan standar pelaporan keberlanjutan yang sederhana namun kredibel bagi UMKM.

Hal ini tidak hanya memperkuat daya saing pelaku usaha nasional, tetapi juga mendorong percepatan transisi menuju ekonomi hijau yang lebih merata dan tangguh.

Dari sisi profesi dan pendidikan, transformasi ini juga menuntut perubahan mendasar. Akuntan masa depan tidak cukup hanya mahir dalam menyusun laporan keuangan, tetapi juga harus memahami prinsip-prinsip keberlanjutan dan teknologi sistem informasi.

Kurikulum pendidikan tinggi di bidang akuntansi harus memasukkan literasi ESG, praktik audit keberlanjutan, serta penguasaan sistem ERP berbasis cloud. Sertifikasi profesi juga perlu disesuaikan agar mampu menghasilkan SDM akuntansi yang relevan dengan tantangan ekonomi digital dan keberlanjutan global.

Ketika tarif global meningkat dan ketidakpastian geopolitik meluas, pelaporan ESG berbasis teknologi tidak lagi menjadi beban administratif, melainkan aset reputasi yang bernilai. Laporan keberlanjutan yang akurat dan dapat diverifikasi akan menjadi kunci kepercayaan pemangku kepentingan, sekaligus membuka akses terhadap berbagai instrumen pembiayaan hijau, baik dari pasar modal maupun lembaga keuangan internasional.

Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor dalam transformasi akuntansi keberlanjutan berbasis digital, setidaknya di tingkat regional Asia Tenggara. Dengan bonus demografi dan pertumbuhan teknologi yang pesat, bangsa ini dapat memadukan nilai-nilai tanggung jawab sosial dengan inovasi digital untuk menciptakan sistem ekonomi yang tidak hanya efisien, tetapi juga adil dan berkelanjutan.

Transformasi ini membutuhkan kemauan politik, komitmen kelembagaan, dan kolaborasi lintas sektor. Sebab keberlanjutan tidak mungkin dicapai oleh satu aktor saja. Dunia usaha, akademisi, pemerintah, dan masyarakat sipil harus saling bersinergi. Di tengah krisis global dan tekanan lingkungan yang kian nyata, akuntansi keberlanjutan berbasis teknologi adalah jembatan menuju masa depan ekonomi yang tangguh, transparan dan bertanggung jawab. *

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here