Anak-anak Jadi Target Marketing dari Industri Rokok

BAHAYA ROKOK---Paparan dari LPAI tentang bahaya rokok secara daring, Jumat (21/7/2023). (FOTO: ISTIMEWA).

Jakarta, SumselSatu.com

Masalah anak seolah tidak pernah usai, banyak regulasi yang mengatur perlindungan anak, tetapi masalah anak juga semakin kompleks.

“Saat ini anak-anak kita dihadapkan pada salah satu masalah global, yaitu menjadi target marketing dari industri rokok,” ujar Sekretaris Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Ir Titik Suhariyati saat konferensi pers secara daring, Jumat (21/7/2023).

Dia menjelaskan, dengan adanya jumlah anak perokok pemula yang kian meningkat sesuai dengan data GYT Survey pada tahun 2019 menyebutkan anak-anak terpapar iklan dan promosi rokok dari berbagai media. Media tersebut antara lain Televisi 65,2%, tempat penjualan 65,2%, media luar ruangan 60,9% dan internet 36,2%.

Hal tersebut menjadi perhatian penuh bagi pemerintah dalam membentuk regulasi khusus demi kepentingan kesehatan masyarakat. Seperti yang tertuang dalam 6 pilar transformasi kesehatan sebagaimana disampaikan Menteri Kesehatan bahwa untuk dapat mewujudkan penduduk Negara dengan kualitas kesehatan yang baik maka perlu dilakukan upaya promotif preventif.

Akan tetapi, dalam mewujudkan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan Undang-Undang Kesehatan (Omnibus Law Kesehatan) yang baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu. Kebijakan ini tidak menunjukkan keberpihakan untuk melindungi anak-anak generasi penerus kita.

“Bagaimana anak-anak akan menjadi generasi emas 2045 jika kebijakan pemerintah sendiri tidak mendukung tujuan/goal tersebut,” katanya.

RUU Omnibus Law Kesehatan telah disahkan menjadi Undang-Undang Omnibus Law Kesehatan akan tetapi substansi undang-undang ini tidak mencerminkan esensi perlindungan kesehatan. Banyak pasal yang tidak menunjukan keberpihakan pada kepentingan kesehatan.

“Sejak Undang-undang ini masuk ke dalam Prolegnas banyak terjadi penolakan yang massif dari seluruh lapisan masyarakat terutama praktisi kesehatan dan organisasi profesi kesehatan,” katanya.

Banyak pihak merasa dirugikan dengan adanya pengesahan Undang-Undang kesehatan ini, khususnya praktisi perlindungan anak dan pengendalian tembakau di Indonesia.

Fanani menegaskan bahwa segala upaya pembangunan kualitas sumberdaya manusia (SDM) akan mustahil jika tidak didukung dengan kualitas kesehatan. Dengan adanya pengesahan undang-undang ini justru menjadi ancaman bagi tercapainya Visi Indonesia Emas 2045.

Hal ini dikarenakan logika penyusunan undang-undang kesehatan sangat terbalik, pembentukan undang-undang yang terkesan ugal-ugalan dan terburu-buru ketika Menteri Kesehatan (Menkes) menginginkan transformasi kesehatan, tetapi pasal yang terkait dengan promotif preventif justru dihapus. Yang diatur dalam Pasal 149-152 justru melemahkan Undang-Undang Kesehatan, Negara menggeser orientasinya untuk perlindungan kelompok rentan.

“Sehingga jika tanpa penguatan regulasi maka visi Indonesia di tahun 2045 akan menjadi hangus,” tegasnya.

Hal ini tidak hanya berlaku di satu Negara tertentu melainkan seluruh Negara di dunia termasuk Indonesia. Terkait dengan pemenuhan ha katas kesehatan harus sesuai dengan konsep standar kesehatan tertinggi dan tidak setengah-setengah.

Pemerintah telah meratifikasi
instrument Hak Asasi Manusia tetapi tidak menjadikan dasar pertimbangan dalam membentuk perundang-undangan termasung Undang-Undang Omnibus Law Kesehatan.

Ari Budi Ikatan Pelajar Muhammadiyah mengatakan, Remaja adalah target karena perokok remaja merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan setiap industri rokok 50 tahun terakhir, perokok remaja adalah satu-satunya sumber perokok pengganti. Jika para remaja tidak merokok maka industri akan bangkrut sebagaimana sebuah masyarakat yang tidak melahirkan generasi penerus akan punah.

Mengingat poroporsi umur pertama kali merokok pada penduduk umur kurang dari 10 tahun. Sebagian anak mulai merokok saat usia SD-SMA dengan harga rokok yang relatif murah dan terjangkau oleh anak.

Anak-anak dapat membeli rokok satuan/ketengan dengan kemudahan iklan yang dapat ditemukan oleh anak-anak. Ari juga menyampaikan apabila pemerintah tidak melakukan intervensi yang mendukung kontrol terhadap produk tembakau, maka pada tahun 2030 diperkirakan angka porevalensi perokok pemula akan meningkat menjadi 16%.

“Indonesia merupakan Negara dengan perokok muda tertinggi di dunia dan belum ada tanda-tanda mengalami penurunan di masa mendatang,” bebernya. #Rill

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here