Hotima, SE
Mahasiswa Magister Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Tridinanti Palembang.
PEMBANGUNAN daerah di Indonesia tengah menghadapi babak baru. Selama ini, orientasi pembangunan lebih banyak diarahkan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, penguatan infrastruktur, dan peningkatan investasi.
Namun, seiring berjalannya waktu, pendekatan semacam itu dinilai tidak lagi cukup. Pertumbuhan yang dicapai tanpa memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan justru memunculkan masalah baru, mulai dari banjir, pencemaran udara, hingga berkurangnya ruang terbuka hijau. Situasi tersebut menuntut hadirnya paradigma baru dalam tata kelola pembangunan daerah.
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2025 lahir di tengah konteks tersebut. Regulasi ini memberi sinyal kuat bahwa Pemerintah Pusat ingin mendorong daerah bergerak menuju pola pembangunan hijau berbasis smart governance. Artinya, daerah tidak hanya dituntut melakukan pembangunan secara berkelanjutan, tetapi juga harus memanfaatkan teknologi, memperkuat tata kelola, dan membuka ruang partisipasi masyarakat. Inilah momentum penting yang harus ditangkap oleh seluruh pemangku kepentingan di tingkat lokal.
Konteks Lahirnya Inmen Nomor 2 Tahun 2025
Lahirnya Inmen Nomor 2 Tahun 2025 tidak bisa dilepaskan dari semakin kompleksnya tantangan pembangunan daerah. Urbanisasi yang begitu pesat menimbulkan tekanan luar biasa pada tata ruang perkotaan. Kota-kota tumbuh cepat, tetapi sering kali mengabaikan daya dukung lingkungan. Alih fungsi lahan pertanian ke kawasan permukiman dan industri berlangsung masif, sementara kapasitas infrastruktur hijau tidak diimbangi dengan baik.
Di sisi lain, perubahan iklim menimbulkan ancaman serius bagi banyak wilayah di Indonesia. Banjir, kekeringan, abrasi, hingga kenaikan permukaan air laut menjadi bukti nyata bahwa pembangunan tidak lagi bisa dilakukan dengan cara lama. Jika pemerintah daerah hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan keberlanjutan, maka bencana ekologis yang lebih besar akan sulit dihindari.
Inmen Nomor 2 Tahun 2025 muncul sebagai jawaban atas persoalan tersebut. Instruksi ini menegaskan bahwa tata kelola pemerintahan daerah harus bertransformasi. Tidak cukup lagi sekadar membuat dokumen perencanaan rutin, tetapi juga harus menanamkan nilai keberlanjutan dalam setiap tahap pembangunan. Kehadiran instruksi ini sekaligus menjadi dorongan bagi daerah agar mampu beradaptasi dengan era digital, menggunakan data sebagai dasar kebijakan, serta melibatkan masyarakat secara lebih aktif.

Smart Governance sebagai Kunci
Konsep smart governance yang diusung dalam Inmen 2/2025 memiliki makna mendalam. Ia bukan sekadar digitalisasi pelayanan publik atau sekadar menyediakan aplikasi. Lebih dari itu, smart governance adalah paradigma baru dalam pemerintahan yang menekankan pada keterbukaan, akuntabilitas, partisipasi, serta kolaborasi lintas sektor. Dengan paradigma ini, pemerintah daerah tidak lagi diposisikan sebagai aktor tunggal yang menentukan arah pembangunan, melainkan fasilitator yang mengelola kolaborasi antar berbagai pemangku kepentingan.
Smart governance mendorong pemanfaatan teknologi informasi sebagai instrumen penting. Dengan data yang akurat, pemerintah daerah bisa merumuskan kebijakan lebih tepat sasaran. Misalnya, melalui pemetaan geospasial, daerah dapat mengetahui kawasan yang rawan bencana, potensi energi terbarukan, hingga distribusi ruang terbuka hijau. Data tersebut bukan hanya memperkuat akurasi kebijakan, tetapi juga menjadi alat kontrol publik terhadap jalannya pembangunan.
Lebih jauh, smart governance juga menghidupkan partisipasi warga. Melalui sistem digital, masyarakat diberi ruang lebih luas untuk menyampaikan aspirasi, melaporkan kerusakan lingkungan, atau mengusulkan program prioritas. Dengan mekanisme semacam ini, pembangunan tidak hanya menjadi urusan pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama antara negara dan warga.

Pembangunan Hijau dan Tantangannya
Meski gagasan pembangunan hijau terdengar ideal, realisasinya di lapangan tidak semudah yang dibayangkan. Banyak pemerintah daerah masih berhadapan dengan kendala klasik seperti keterbatasan anggaran, lemahnya koordinasi antarinstansi, dan resistensi dari pihak-pihak yang terbiasa dengan pola pembangunan lama.
Keterbatasan anggaran, misalnya, sering dijadikan alasan untuk menunda program-program lingkungan. Padahal, kerusakan lingkungan justru menimbulkan biaya yang lebih besar di masa depan, seperti biaya penanggulangan bencana dan kerugian ekonomi akibat menurunnya kualitas sumber daya alam. Lemahnya koordinasi antarperangkat daerah juga menjadi penghambat. Sering kali dinas lingkungan hidup tidak sejalan dengan dinas pekerjaan umum atau perhubungan, sehingga kebijakan pembangunan berjalan tumpang tindih.
Selain itu, masih ada resistensi dari kelompok tertentu yang menganggap pembangunan hijau menghambat investasi. Pola pikir jangka pendek yang menempatkan keuntungan finansial di atas kelestarian lingkungan membuat agenda keberlanjutan sulit diterima sepenuhnya. Padahal, pembangunan hijau sejatinya membuka peluang investasi baru di sektor energi terbarukan, pengelolaan sampah, maupun ekowisata.
Inilah tantangan yang ingin dijawab melalui Inmen Nomor 2 Tahun 2025. Instruksi ini mendorong daerah untuk lebih serius menggunakan indikator hijau dalam dokumen perencanaan. Dengan indikator yang jelas, pembangunan bisa diukur secara objektif, bukan hanya berhenti pada retorika.
Peluang dan Inovasi
Meskipun tantangannya besar, peluang untuk mewujudkan pembangunan hijau semakin terbuka. Kemajuan teknologi digital memberi ruang luas bagi lahirnya inovasi. Banyak daerah kini mulai memanfaatkan big data dan kecerdasan buatan untuk mendukung pengambilan keputusan. Aplikasi pemantau kualitas udara, sistem pengelolaan sampah berbasis digital, hingga program eco smart city menjadi contoh nyata bahwa inovasi dapat menjadi motor pembangunan hijau.
Selain inovasi teknologi, peluang juga terbuka melalui kerja sama lintas pihak. Perguruan tinggi dapat menyumbangkan riset dan inovasi, komunitas lokal dapat memberi masukan dari pengalaman di lapangan, sementara sektor swasta bisa terlibat melalui program tanggung jawab sosial perusahaan. Bahkan, lembaga donor internasional semakin tertarik untuk mendukung daerah yang berkomitmen pada pembangunan hijau.
Kerja sama antarwilayah juga tidak kalah penting. Isu lingkungan tidak mengenal batas administratif. Sungai yang tercemar di satu daerah bisa merugikan daerah lain, demikian pula kebakaran hutan dan kabut asap. Karena itu, kolaborasi lintas kabupaten atau provinsi menjadi strategi kunci yang sejalan dengan semangat Inmen 2/2025.
Manfaat bagi Pemerintah Daerah
Selain membawa manfaat bagi masyarakat dan lingkungan, implementasi smart governance berbasis pembangunan hijau juga memberi keuntungan nyata bagi pemerintah daerah. Pertama, pemerintah menjadi lebih mudah dalam merencanakan dan mengendalikan pembangunan. Dengan data yang terintegrasi, pemerintah mampu memetakan prioritas, menghindari duplikasi program, dan memastikan pembangunan berjalan sesuai arah yang telah ditetapkan.
Kedua, efisiensi anggaran semakin terjamin. Penggunaan teknologi digital dan partisipasi masyarakat mampu menekan potensi kebocoran anggaran. Setiap rupiah yang dikeluarkan dari APBD bisa lebih tepat sasaran karena kebutuhan warga teridentifikasi secara jelas melalui sistem.
Ketiga, legitimasi pemerintah di mata masyarakat meningkat. Transparansi dan partisipasi publik membuat warga merasa dilibatkan dalam pembangunan. Hal ini memperkuat kepercayaan kepada pemerintah, yang pada gilirannya menjadi modal penting untuk menjaga stabilitas politik lokal.
Keempat, posisi pemerintah daerah di tingkat nasional maupun internasional semakin diakui. Daerah yang berhasil menerapkan pembangunan hijau berbasis smart governance berpeluang mendapatkan akses pada pendanaan hijau, hibah penelitian, maupun kerjasama dengan lembaga donor. Bahkan, keberhasilan ini bisa menjadi magnet bagi investasi berkelanjutan yang berdampak langsung pada perekonomian lokal.
Dengan kata lain, Inmen 2/2025 bukan hanya instruksi administratif dari pusat, tetapi peluang besar untuk memperkuat kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan masa depan.
Manajemen Strategi Smart Governance dalam Pembangunan Hijau
Agar Inmen 2/2025 benar-benar membumi, pemerintah daerah perlu menerapkan manajemen strategi yang sistematis. Langkah pertama adalah merumuskan visi pembangunan hijau yang jelas, kemudian menurunkannya ke dalam misi, tujuan, dan program prioritas. Visi ini harus sejalan dengan RPJPD, RPJMD, dan RKPD agar keberlanjutannya terjaga lintas periode pemerintahan.
Tahap berikutnya adalah melakukan analisis lingkungan strategis. Pemerintah perlu memetakan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam pembangunan hijau. Misalnya, daerah dengan potensi energi surya dapat memfokuskan diri pada program transisi energi, sementara daerah pesisir menitikberatkan kebijakan pada mitigasi abrasi dan pengelolaan ekosistem laut.
Tahap implementasi menjadi ujian paling nyata. Pemerintah daerah tidak boleh hanya berhenti pada penyusunan dokumen, melainkan harus memastikan program dijalankan dengan koordinasi lintas sektor. Penguatan kapasitas aparatur, penggunaan sistem informasi, dan keterlibatan masyarakat menjadi faktor penentu keberhasilan.
Tahap terakhir adalah evaluasi berkelanjutan. Monitoring dilakukan dengan indikator hijau yang terukur, seperti persentase energi terbarukan, kualitas udara, atau luas ruang terbuka hijau. Evaluasi bukan sekadar mencari kesalahan, tetapi menjadi ruang belajar untuk menyempurnakan strategi. Dengan demikian, pembangunan hijau benar-benar menjadi proses dinamis yang selalu diperbaiki sesuai kebutuhan zaman.
Dari Regulasi ke Aksi
Inmen Nomor 2 Tahun 2025 adalah tonggak penting dalam perjalanan pembangunan daerah. Ia bukan hanya instruksi teknis, tetapi juga simbol perubahan paradigma. Regulasi ini menuntut pemerintah daerah untuk bertransformasi: dari sekadar birokrasi administratif menjadi agen pembangunan yang inovatif, transparan, dan berorientasi pada keberlanjutan.
Namun, regulasi hanya akan bermakna jika benar-benar diterjemahkan ke dalam aksi nyata di lapangan. Pemerintah daerah perlu berani keluar dari pola lama, membuka diri terhadap inovasi, serta menjadikan keberlanjutan lingkungan sebagai roh pembangunan. Dengan semangat itu, pembangunan daerah tidak hanya tumbuh secara ekonomi, tetapi juga hijau, sehat, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang. *
✍ Tentang Penulis
Penulis adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian, dan Pengembangan (Bappeda Litbang) Kabupaten Banyuasin.










