Palembang, SumselSatu.com
Menjadi pengacara adalah impian sebagian orang, terutama bagi mereka yang sudah mendapati dan menyandang gelar Sarjana Hukum. Profesi pengacara dianggap sebagai profesi mulia (officium nobile), setara dengan profesi hakim, jaksa, dokter, dosen, sastrawan dan profesi mulia lainnya.
Mimpi ini pula yang diwujudkan Chairul S Matdiah setelah lulus Strata 1 (S1) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang. Ia mulai terbiasa dengan dunia hukum setelah menjalani profesi wartawan Majalah Fakta Surabaya, yang fokus pada isu hukum dan kriminalitas.
Setelah meraih gelar Sarjana Hukum, Chairul mulai berkarier pada Kantor Law Firm (Layanan Hukum) Bambang Hariyanto and Partners Tahun 1995-1996.
Chairul mulai ditempa, diuji dan berpraktik menerapkan teori ilmu hukum yang sudah dipelajarinya di kampus. Chairul mulai menyadari menjadi pengacara tidak cukup hanya berbekal teorinya. Pengalaman dan praktik harus berjalan beriringan dengan teori.
“Menjadi pengacara memberi pengalaman yang seru dan unik. Seorang pengacara dituntut untuk masuk ke dalam permasalahan hukum yang sedang dialami seseorang, kemudian mencari celah hukum dan solusinya untuk memperoleh keadilan dan kebenaran,” ujar Chairul.
Perjalanan Chairul hingga menjadi pengacara sukses tidak lepas dari bantuan Bambang Hariyanto, SH, MH. Dia menjadi saksi perjalanan hidup dan karier Chairul S Matdiah sebagai pengacara.
Bambang dan Chairul sudah kenal pada awal tahun 1990. Bambang saat itu aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang dari tahun 1985-1995.
Chairul sebagai wartawan Majalah Fakta sering main ke LBH, karena LBH adalah sumber berita para wartawan. LBH adalah lembaga yang memberikan bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum secara cuma-cuma.
“Saya waktu itu aktivis LBH yang bertugas membantu masyarakat. LBH dulu adalah tempat mangkal wartawan, sumber berita wartawan, karena dulu belum ada Komnas HAM. Kalau ada persoalan hukum masyarakat mengadu ke LBH, jadi banyak wartawan ke LBH, Chairul salah satunya,” ujar Bambang saat ditemui di Kantor Law Firm Bambang Hariyanto & Partner di Jalan BLPT, Basuki Rahmat, Palembang.
Di awal tahun 1992, Bambang dan Chairul membongkar kasus penganiayaan tahanan hingga tewas, namun oleh polisi direkayasa seolah-olah tahanan itu meninggal bunuh diri.
Tahanan itu bernama H Komaruddin. Dia dinyatakan tewas bunuh diri di bak mandi sel tahanan Poltabes Palembang. Keluarga Komaruddin tidak terima karena dari pengamatan mereka tidak masuk akal, apalagi Komaruddin adalah sosok yang agamis.
“Orang ini (Komaruddin) sosok agamis, bukan kriminal. Kasusnya pun tidak jelas, dia punya kawan yang punya koneksi di kepolisian, lalu dia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara,” katanya.
Setelah ditangkap, Komaruddin sempat dua malam ditahan polisi, lalu dinyatakan tewas bunuh diri. Keluarga berupaya minta keadilan dan sudah berkeliling membuat laporan tapi kasusnya tidak pernah terungkap. Pihak keluarga akhirnya mengadu ke LBH Palembang.
“Nah, yang bawa keluarga korban ke LBH adalah Chairul,” lanjutnya.
Kasus ini akhirnya dipublikasikan oleh Majalah Fakta, sementara LBH fokus pada fakta hukum. Pemberitaan gencar di Majalah Fakta yang memang cukup populer di masyarakat, membuat kasus ini mendapat perhatian publik.
“LBH lalu berkirim surat ke Kapolri dan Pangab (Panglima ABRI) supaya kasus ini diselidiki oleh Polisi Militer (POM) karena dulu polisi masih di bawah naungan ABRI. Setelah diperiksa dan diproses di Mahkamah Militer kasusnya menjadi terang benderang dan semuanya terungkap. Komaruddin tewas bukan karena bunuh diri, tapi akibat dianiaya oleh aparat kepolisian. Kasus ini terungkap pada tahun 1995 hingga di persidangan,” katanya.
Keberhasilan LBH mengungkap kasus ini membuat keluarga korban puas dan Majalah Fakta semakin populer. Sejak saat itu, hubungannya dan Chairul semakin dekat dan Chairul mulai menunjukkan minatnya menjadi pengacara. Dia banyak bertanya dan berdiskusi tentang profesi pengacara.
“Tahun 1995, saya membuka kantor pengacara di Jalan Mayor Ruslan, Palembang. Kantor itu dikasih pinjam oleh keluarga Komaruddin yang terharu dengan perjuangan kami membongkar kasus kematian Komaruddin,” katanya.
Setelah memiliki kantor sendiri, Bambang akhirnya mencari Chairul karena ketertarikannya menjadi pengacara.
“Karena Chairul minat menjadi pengacara maka saya cari dia, tapi Chairul berada di Jakarta. Lalu saya kirim surat ke keluarganya di Desa Gajah Mati, isi surat itu kalau mau jadi pengacara nanti saya bantu,” katanya.
Surat itu lalu disampaikan ke Chairul yang berada di Jakarta. Sementara Chairul pulang ke Palembang dan menemui Bambang untuk menekuni profesi pengacara.
“Saat jadi wartawan Chairul sudah lulus S1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang. Tahun 1995-1996, Chairul mulai merintis karier pengacara, dia belajar tekun dan banyak kasus yang dia handle (tangani),” katanya.
“Orangnya senang bergaul, dengan keluarga sudah kenal, hubungan sudah seperti saudara,” tambahnya.
Chairul, kata dia, belajar hukum secara sungguh-sungguh. Awalnya dia belajar hukum dari pihak ketiga (kacamata jurnalis), tentu berbeda jika terjun langsung ke profesi pengacara.
“Sikap hukum dari kacamata pandang wartawan tentu beda dengan pengacara. Pelan-pelan Chairul beradaptasi, pengalamannya sebagai wartawan menjadi nilai tambah, karena untuk menjadi pengacara dibutuhkan jaringan, pertemanan, relasi yang luas. Latar belakang Chairul yang seorang wartawan dan banyak mengenal aparat hukum menjadi modal awal Chairul membangun profesi pengacara,” kata Bambang.
Chairul banyak belajar, terutama bagaimana saat bersidang, sebelum bersidang, surat dakwaan jaksa, surat jawaban dan pembelaan.
“Kita diskusi banyak terkait hal itu. Chairul penuh semangat dan enerjik, punya kemauan belajar, itu yang saya hargai, semangat itu. Setelah 3 tahun ikut saya, dia izin untuk membuka kantor sendiri di Jalan Kapten Arivai,” katanya.
Kasus pertama yang ditangani Chairul adalah kepala desa (Kades) Gajah Mati yang menggugat Bupati Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Kasus itu digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palembang.
“Alhamdulillah berhasil, materi sidang kami siapkan sama-sama, tapi yang tampil Chairul. Bangga betul dia, kebetulan kades itu dari Desa Gajah Mati, Chairul semakin dikenal,” katanya.
“Sebelum sidang pak Chairul belajar betul, materi gugatan dia baca, lalu mempersiapkan diri untuk sidang, teks gugatan dikuasai dan materi sidang dibaca betul,” tambahnya.
“Hubungan kami masih terjalin, meski Chairul sibuk sebagai Anggota DPRD Sumsel dan pernah menjadi Pimpinan DPRD. Saya jarang di Palembang, kantor banyak di Jakarta, jadi aktivitas banyak di Jakarta, jarang komunikasi,” katanya.
Semangat Untuk Hidup Luar Biasa
Bambang mengenal luar dalam tentang Chairul, termasuk sakit yang diderita. Perjuangannya melawan sakit itulah yang membuatnya semakin berdecak kagum.
“Semangat Chairul di atas rata-rata, tidak menyerah dengan keterbatasan, energi dan semangat itulah yang saya kagumi. Dia tidak mudah menyerah, justru menjadi tantangan untuk mengatasinya, dari sisi itu Chairul hebat,” puji Bambang.
Chairul awalnya menderita penyakit darah tinggi dan ketergantungan akan obat, karena ketergantungan itu menyebabkan penyakit diabetes, jantung dan ginjal.
“Saya tidak mengikuti kegiatan Chairul secara fisik, tapi dia selalu cerita. Saat operasi jantung dan pemasangan ring aku hadir langsung untuk menyaksikan operasi, termasuk saat Chairul menjalani operasi cangkok ginjal,” katanya.
“Itu yang saya kagumi, semangatnya itu. Makanya selalu saya sampaikan kepada orang lain bahwa setiap orang punya problem (masalah), setiap orang punya persoalan, namun yang terpenting bagaimana mengatasi permasalahan itu, bukan berkeluh kesah. Kebanyakan orang pasrah dan mengeluh, tapi Chairul tidak. Tidak banyak orang seperti itu,” katanya.
“Dalam hati saya, hebat betul orang ini, semangatnya untuk sembuh dan hidup, semangat itu lebih dari obat. Orang banyak minum obat, tapi tidak punya semangat, tidak akan sembuh, tapi semangat Chairul sudah mengatasi penyakitnya. Chairul adalah saksi hidup perjuangan karier saya dari LBH,” ungkap Bambang. #fly