Palembang, SumselSatu.com
Dua mantan ajudan memberikan kesan tentang sosok H Chairul S Matdiah, SH, MHKes. Keduanya adalah ajudan yang setia mendampingi Chairul saat menjadi Wakil Ketua DPRD Sumsel Periode 2014-2019.
Ajudan pertama adalah Iqbal Sarabayan yang bertugas pada tahun 2016-2017. Iqbal adalah lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
“Setelah lulus dari IPDN, pada 2016 akhir saya ditempatkan di Sekretariat DPRD Sumsel. Bulan pertama saya ditempatkan di Staf Persidangan, lalu diperbantukan menjadi ajudan bapak Chairul S Matdiah yang waktu itu menjadi Wakil Ketua DPRD Sumsel,” ujar Iqbal.
Sebagai ajudan kesehariannya melekat di jam dinas dan luar jam dinas. Tugasnya menyiapkan materi seperti reses, kunjungan kerja, maupun rapat.
“Sebagai anggota dewan pekerjaan bapak sangat padat, terlebih bapak adalah pimpinan DPRD, jadi banyak materi yang harus disiapkan,” katanya.
Iqbal mengatakan, tidak terlalu lama menjadi ajudan, karena dia kemudian pindah tugas ke Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Pemprov Sumbar) sebagai ajudan bupati.
“Angkatan kami cuma setahun bertugas pada masa CPNS, karena saat itu ada kebijakan revolusi mental dari Presiden Joko Widodo, jadi CPNS harus disebar ke seluruh wilayah Indonesia. Kurang lebih 10 bulan saya menjadi ajudan bapak,” katanya.
Selama mendampingi, Iqbal menilai Chairul S Matdiah sebagai sosok yang sangat baik. Dari sisi jam kerja, mereka adalah atasan dan bawahan. Tapi di luar jam kerja dia sudah dianggap seperti adik sendiri.
“Bapak itu sosok dermawan, sering berbagi, dan tidak perhitungan. Kadang kaget sendiri, bapak ini royal sekali, siapapun dibantu, kadang orang yang tidak dikenal. Sebagai ajudan saya yang megang tas bapak berisi uang, saat beli nasi uangnya dilebihkan, pengamen juga diberi uang. Tidak hanya di Palembang, saat dinas luar kota sikap dermawan bapak tidak berubah,” katanya.
Dari sisi pekerjaan, adalah orang yang sangat disiplin dan tepat waktu.
“Kalau jam 09.00 WIB janji bapak datang tepat waktu, saya sebagai ajudan kerepotan, karena jika janji jam 07.00 WIB, artinya jam 06.00 WIB saya sudah harus standby,” kata Iqbal.
“Bapak itu jarang ngaret (datang terlambat). Beliau disiplin, jam berapapun pulang dari bekerja, pagi beliau sudah bangun, kadang duluan bapak yang bangun dari saya. Kadang bapak yang ingatkan kalau ada tugas pagi hari,” tambahnya.
Kata Iqbal, ada tiga pesan yang selalu dia ingat. Pertama kerja keras, kedua kerja tuntas dan ketiga kerja cerdas.
“Kerja keras artinya ulet dan jangan menyerah. Kerja tuntas, bekerja jangan setengah-setengah, kalau ada pekerjaan diselesaikan, jangan ditunda-tunda. Kerja cerdas, bekerja harus berkualitas, kalau kerja tidak berkualitas tidak ada gunanya,” ujar Iqbal mengulang pesan Chairul S Matdiah.
Namun, ada satu sisi negatif dari sosok Chairul S Matdiah. Menurut Iqbal, Chairul orang yang sedikit pemarah dan meledak-ledak saat berbicara.
“Bapak kalau marah langsung disampaikan ke orangnya, tapi tidak di depan orang ramai, kadang di dalam mobil. Kalau ada yang tidak sesuai langsung digas (dimarahi). Tapi habis marah selesai di situ, enaknya di situ, habis marah persoalan selesai dan tidak diperpanjang,” katanya.
Meski tidak lagi menjadi ajudan, hubungan mereka tetap terjalin baik, termasuk dengan ibu Hj Anisah Mardin dan keempat anaknya.
“Kenal baik dengan istrinya dan anak-anaknya, kami akrab. Sepanjang sama saya beliau tidak pernah sakit parah, beliau sehat dan lancar selama bertugas,” katanya.
Setelah masa tugas Iqbal berakhir, adalah M Fakhri Azhar yang bertugas menjadi ajudan Chairul S Matdiah. Fakhri bertugas pada periode 2017-2018.
“Setelah Iqbal saya yang menjadi ajudan bapak selama satu tahun,” ujar Fakhri.
Chairul, kata dia, adalah pemimpin yang tegas, dan perhatian kepada bawahan dan stafnya.
“Selama menjadi ajudan saya sering ikut bapak bersedekah ke anak yatim, masyarakat umum, sedekah di jalan dan ojek online,” katanya.
Chairul adalah sosok pekerja keras meski usia sudah tidak mudah lagi, semangat mengabdi dan bekerja untuk masyarakat sangat tinggi, begitu juga dengan dedikasinya.
“Saya sudah dianggap seperti anak dewek (sendiri-red), idak nyangko (tidak percaya-red), saya pikir hanya sebatas atasan dan bawahan, tapi saya sudah dianggap anak dewek,” katanya.
Hanya saja dia sempat merasa sedih melihat perjuangan melawan penyakit ginjal. Meski dalam keadaan sakit, dedikasi mengabdi untuk masyarakat tidak pernah pudar.
“Sekarang beliau sudah melewati masa kritis, sudah sehat dan bugar. Semangat beliau dalam melawan sakit menjadi pengalaman berharga selama saya mendampingi beliau,” ujar Fakhri yang kini kembali bertugas di Sekretariat DPRD Sumsel setelah 2 tahun bertugas di Kepahiang, Bengkulu dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuasin. #fly