Palembang, SumselSatu.com
Menjadi seorang pengacara memang sudah menjadi cita-cita H Chairul S Matdiah, SH, MHKes. Pria berusia 60 tahun itu memulai karir sebagai pengacara sejak tahun 1995.
Chairul mengawali profesi menjadi pengacara bergabung dengan Bambang Hariyanto and Partners dan berkantor di Jalan Mayor Ruslan, Palembang.
Setelah mendapat Surat Keputusan (SK) pengacara dari Menteri Kehakiman Nomor D53.KP.04.13.1996 Tahun 1996, dia kemudian memisahkan diri dari kantor Bambang Hariyanto and Partners dan bergabung dengan Herinyato, SH, MH, berkantor di CV Thamrin Brothers, Jalan Kamboja, Kecamatan Ilir Timur (IT) 1.
Tahun 2000, dia membeli sebuah ruko di Jalan Kapten A Rivai, Nomor 1436, Kelurahan 20 Ilir, Kecamatan IT I, Palembang, yang kemudian dijadikan Kantor Pengacara H Chairul S Matdiah, SH.
Selama hampir 20 tahun menjadi pengacara, Chairul mengaku telah menangani 100 kasus perdata, 200 pidana dan kasus Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Niaga hingga tuntas.
Namun ada cerita unik yang pernah dialaminya. Chairul pernah dibayar dengan pisang tiga sisir dan dua ekor ayam oleh kliennya. Chairul mengaku kaget, karena ketika menggunakan jasa seseorang pengacara, tentu dia berharap dibayar dengan uang. Meski begitu, dia tetap bersedia dibayar dengan barang jika kliennya memang tidak mampu.
“Banyak sekali kejadian unik seperti itu, hampir setiap tahun ada, satu hingga dua kasus per tahun,” ujar Chairul.
Chairul menceritakan awalnya datang beberapa klien ke kantor pengacaranya mau minta bantuan karena sedang berurusan dengan persoalan hukum. Kasus yang dilaporkan bermacam-macam, mulai dari penyerobotan tanah, pemerkosaan, Narkoba hingga kasus pembunuhan.
“Mereka yang minta tolong berasal dari Palembang, Muaraenim, Ogan Komering Ilir (OKI) dan Lahat. Saya pun merasa iba karena kasus yang dilaporkan adalah kasus sosial, maka saya tolong dan laporkan kasus tersebut ke Polda Sumsel, Polrestabes Palembang dan Polsek,” katanya.
“Alhamdulillah berhasil saya tolong, dan ada yang divonis bebas seperti kasus Narkoba di Kayuagung, OKI. Kasus korban pemerkosaan di Muaraenim juga berhasil saya ungkap, karena dalam kasus ini anak klien saya menjadi korban pemerkosaan,” tambah pria kelahiran Gajah Mati, Kabupaten OKI, 2 Juli 1964 itu.
Chairul mengatakan, untuk menangani per kasus ada biaya yang harus dia keluarkan. Untuk satu kali sidang ke daerah membutuhkan biaya Rp1 juta untuk biaya bensin dan makan di perjalanan. Jika dikalikan 15 kali sidang, maka biaya yang dikeluarkan mencapai Rp15 juta.
“Itu belum termasuk biaya lain-lain, misal klien yang datang itu saya kasih makan dan pulangnya saya kasih ongkos, karena saya iba mereka orang tidak mampu,” katanya.
Kata Chairul, ada juga kasus pembunuhan yang ia bela di wilayah Palembang tahun 2000 tanpa memakai uang untuk membayar jasa pengacara, padahal klien bisa meminta bantuan Pos Bantuan Hukum (Posbakum).
“Tapi karena minta tolong jadi saya tolong. Karena kenal saya tolong dan biayai. Dalam pandangan saya ada saja rezeki dari orang yang kita tolong karena mereka akan mendoakan kita setelah dibantu,” katanya.
Ketika kasus sudah diselesaikan, klien tersebut datang ke rumah untuk mengucapkan terima kasih.
“Mereka datang ke rumah sambil membawa kerupuk dari dusun, kemplang, nanas, pisang 3 sisir dan ayam dua ekor, ya saya terima, walaupun saya tidak tahu apakah buah-buahan tadi berasal dari kebun mereka atau dibeli, namun apapun yang mereka berikan saya terima karena niat saya tulus membantu mereka,” kata lulusan S1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang.
“Mereka biasanya bilang tidak ada uang untuk membayar setelah perkara selesai, inilah adanya (membayar dengan barang). Pernah juga mereka membawakan pempek pisang ketika sidang karena mereka tahu saya sangat menyukai pempek pisang,” sambung Chairul sembari tertawa.
Sisihkan Bayaran Pengacara
Untuk Orang Tidak Mampu
Selama menjadi pengacara, Chairul menyisihkan bayaran dengan nominal cukup tinggi sebagai pengacara untuk digunakan saat membela perkara orang tidak mampu.
“Misal saya dibayar Rp1 miliar, sudah saya sisihkan 10 persen untuk membantu orang tidak mampu, jadi saya sudah punya kas Rp100 juta per tahun. Kalau dalam satu tahun tidak ada saya simpan untuk tahun depan,” katanya.
Untuk membela klien tidak mampu, Chairul mengaku dia yang selalu turun langsung, meski terkadang ada juga rekan kerja yang membantu karena kebersamaan untuk menyelesaikan perkara.
“Tapi kebanyakan saya yang turun langsung, karena anak buah tidak mau karena katek duitnyo (tidak ada uangnya-red),” lanjut Chairul dengan gelak tawa.
Menjadi pengacara, kata Chairul, memang harus mempersiapkan pos anggaran khusus agar tidak membebani anggaran keuangan rutin. Ketika sudah ada pos anggaran khusus, maka tidak sulit untuk membantu orang.
“Rekan kerja juga tidak tahu karena memang tidak saya kasih tahu, karena pada prinsipnya untuk berbuat baik tidak perlu memberitahu orang lain,” ucap lulusan S2 Magister Hukum di Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang.
Karena kebaikan yang telah dilakukan itu, Chairul mengaku tidak mengeluarkan biasa banyak ketika terpilih menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Selatan (DPRD Sumsel) Periode 2014-2019.
“Di periode pertama itu tidak keluar banyak uang karena buah dari kebaikan tadi. Meski kita sering bebuat baik dan bersikap idealis, banyak orang yang tidak senang terutama orang dekat. Tapi itu tidak menjadi masalah, karena akan menjadi ladang pahala bagi saya,” katanya.
“Seperti dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala (SWT) menjelaskan bahwa bagi siapa yang melakukan kebaikan, maka dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipatnya. Siapa yang berbuat keburukan, dia tidak akan diberi balasan melainkan yang seimbang dengannya,” tambah Chairul mengutip Surah QS Al Anam: 160. #fly