Kuasai Hukum Semenjak Jadi Wartawan Kriminal (Part 2)

Chairul S Matdiah saat berkumpul dengan alumni RCTI Jakarta. (FOTO: SS 1/IST).

Palembang, SumselSatu.com

Sebelum menjadi pengacara tahun 1995, Chairul S Matdiah, SH, MHKes, adalah wartawan Majalah Fakta yang beralamat di Jalan Asem IV/12 Surabaya. Dari pengalaman sebagai wartawan, dia mempelajari berbagai persoalan hukum.

“Majalah Fakta khusus membahas berita kasus dan kriminalitas, jadi wilayah liputan saya adalah pengadilan, kepolisian dan imigrasi. Jadi masalah hukum saya kuasai waktu menjadi wartawan Majalah Fakta,” ujar Chairul.

Chairul menjadi wartawan Majalah Fakta tahun 1986-1996 dilanjutkan menjadi Kontributor Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) 1993-1997. Tahun 1995 menjadi pengacara dan mengundurkan diri di RCTI tahun 1996.

“Jadi antara tahun 1995-1996 saya bekerja sebagai kontributor RCTI dan bergabung dengan Bambang Hariyanto dan Partners. Selanjutnya mengundurkan diri dari RCTI setelah SK pengacara saya keluar dari Menteri Kehakiman,” katanya.

Chairul menuturkan, menjadi jurnalis adalah suatu privilege atau keistimewaan mendapatkan informasi lebih dulu, menyebarkan tulisan yang menjadi informasi dan referensi bagi banyak orang dalam mengambil keputusan.

“Makanya saya sempat berkenalan dengan Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menjabat Komandan Korem (Danrem) 072/Pamungkas Yogyakarta tahun 1995 waktu liputan RCTI. Lalu saya sering wawancara pak SBY saat menjadi Pangdam II/Sriwijaya (1996-1997),” katanya.

Ditawari Wartawan Saat Jualan Kopi

Chairul berjualan kopi susu di bawah Jembatan Ampera selama 6 tahun, dari kelas 1 SMP Pancadarma dan kelas 3 SMA Bhakti Ibu (1978-1984). Dari sinilah awal cerita dia menjadi seorang wartawan.

“Saat kelas 3 SMA saya masih berjualan kopi di bawah Jembatan Ampera. Saat berjualan kopi ada Pemimpin Redaksi Majalah Fakta bernama Latif sedang bermain ke Palembang dan minum kopi saat saya jualan,” ujar anak tertua pasangan H Matdiah Faat dan Hj Rodiah Matdian.

Berawal dari perkenalan singkat itulah dia ditawari untuk menjadi wartawan di Majalah Fakta.

“Pak Latif cerita kalau Chairul mau jadi wartawan temui dia di Surabaya. Setelah tamat SMA tahun 1986 saya menemui pak Latif di Surabaya, dan bertemu pak Latif dan Pimpinan Umum Majalah Fakta bernama Muklis. Pada waktu itu juga saya dibuatkan surat tugas dan kartu pers untuk menjadi wartawan Majalah Fakta di Sumsel,” terangnya.

“Setelah itu saya mengambil S1 Fakultas Hukum di Universitas Muhammadiyah dan S1 di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Univeraitas Sriwijaya (Unsri), tapi tidak saya lanjutkan, saya lanjut kuliah di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah,” sambung Wakil Ketua I DPD Partai Demokrat Sumsel Tahun 2010.

Tertinggi Dibayar Rp2 Miliar

Setelah menjadi pengacara, kasus pertama yang dia tangani adalah saat menggugat Bupati Kabupaten OKI dua periode (1989-1994 dan 1994-1999) Kolonel (Purn) H A Rasyid Rais ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena ada salah satu kepala desa (Kades) bernama Edy Karto yang menang di pemilihan kades namun dikalahkan.

“Saya gugat ke PTUN pakai kop surat Bambang Hariyanto. Waktu itu saya menang, tahun 1996,” kenang Chairul.

Apakah kasus paling berat saat menjadi lawyer?

“Semua kasus berat saat menjadi lawyer, tidak ada yang ringan. Advokat itu harus memiliki evaluasi diri dari waktu ke waktu, mulai dari capaian, pelajaran dari setiap kasus yang dihadapi, bentuk permohonan yang dibuat dari satu permohonan ke permohonan lainnya. Menjadi advokat tantangannya berat dan suksesnya pun luar biasa,” papar dia.

Lalu berapa bayaran tertinggi yang pernah didapat saat menangani suatu perkara?

“Bayarannya bervariasi, paling tinggi saya dibayar Rp2 miliar saat menjadi lawyer sebuah perusahaan di Jakarta, tidak usah disebut nama perusahaannya, adalah. Namun yang terendah adalah gratis. Saya beberapa kali tidak dibayar saat menjadi lawyer,” ucap ayah empat anak itu.

“Yang gratis itu kebanyakan pidana umum seperti pidana pembunuhan, mereka tidak punya uang, lalu perkaranya saya yang biayai. Seperti pembunuhan di Prabumulih yang mayatnya dibuang ke Sungai Musi, itu gratis,” Chairul menambahkan.

Selama menjadi lawyer dan menangani ratusan pidana dan kasus besar yang dihadapi perusahaan ternama, sebanyak 7 persen dia kalah berperkara, sementara sisanya 93 menang. Bahkan, ada beberapa perkara yang dia tangani berhasil divonis bebas.

Termasuk terdakwa kasus dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumatera Selatan senilai Rp7,5 miliar, Abdul Shobur. Dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, 15 Februari 2005, PN Palembang membebaskan mantan Sekretaris DPRD Sumsel itu karena tidak terbukti melakukan korupsi.

“Banyak perkara bebas yang berhasil saat menjadi lawyer. Termasuk Sekretaris DPRD Sumsel Abdul Shobur, kasusnya naik saat dia menjabat Asisten 1 Pemprov Sumsel,” katanya.

Selanjutnya, vonis bebas kepada Azam Azman Natawijana, kepala proyek Optimalisasi Pabrik Terak (OPT) II, PT Semen Baturaja (SB) yang pernah menjadi Anggota DPR-RI dari Partai Demokrat untuk Daerah Pemilihan Jawa Timur (Jatim). Azam menjadi terdakwa dalam proyek OPT yang dilaksanakan pada 1995-2001, dengan nilai proyek Rp111.808.200.000.

“Saya pengacara pak Azam Azman, dia divonis bebas karena tidak bersalah. Ada juga beberapa kasus lain yang berhasil saya atasi, tapi tidak usah saya ungkap karena terkait masalah pribadi orang lain,”
kata dia. (Bersambung…….)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here