
Tiongkok, SumselSatu.com
Megawati Soekarnoputri kembali dianugerahi gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) bidang Diplomasi Ekonomi. Penghargaan kepada Presiden RI kelima itu diberikan Fujian Normal University, di Fuzhou, Tiongkok, Senin (5/11/2018).
Gelar Honoris Causa (HC) itu merupakan yang kedelapan diterima Megawati.
“Gelar yang saya terima ini sebetulnya merupakan sebuah pesan untuk melengkapi tugas sejarah para pendiri bangsa kita. Ini menjadi tugas sejarah yang harus kita selesaikan,” ujar Megawati dalam orasi ilmiahnya di Fujian Normal University, seperti dilansir antaranews.
Megawati menyampaikan, Bangsa Indonesia harus terus-menerus mengolaborasi gagasan-gagasan para pendiri bangsa dan melaksanakannya dalam diplomasi kebebasan ekonomi menuju tatanan dunia baru.
“Sebuah tatanan dunia baru yang menjunjung nilai dan prinsip perdamaian dalam kerangka keadilan sosial dan kemakmuran bagi seluruh umat manusia,” kata Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan itu.
Megawati merasa bangga dan terhormat menerima gelar Doktor Kehormatan dari salah satu universitas paling bergengsi di Tiongkok.
Megawati mengatakan, Universitas Fujian telah menunjukkan sumbangan-sumbangan pentingnya dalam ilmu pengetahuan, teknologi, inovasi, dan pembangunan ekonomi di Tiongkok, hingga membuat Tiongkok menyandang status sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat sejak 2014.
“Bilamana pertumbuhan ekonominya tetap konsisten, diramalkan bahwa pada tahun 2020, Tiongkok akan mengambil alih posisi Amerika Serikat sebagai ekonomi terbesar di dunia,” kata Megawati.
Diplomasi ekonomi yang dilakukan Tiongkok, selaku raksasa ekonomi dunia yang baru, sangat potensial berperan membangun perdamaian dunia.
“Saya berharap dan mendukung Tiongkok untuk melaksanakan diplomasi kebebasan ekonomi,” kata puteri Proklamator RI Bung Karno itu.
Megawati menyampaikan, melalui diplomasi kebebasan ekonomi, Tiongkok dapat menyingkirkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang disebabkan sistem ekonomi liberal. Sebab, saat ini dunia menghadapi berbagai persoalan, seperti kelaparan, pengangguran, terorisme, perdagangan manusia, dan Narkotika, pemanasan global, konflik antarnegara, dan lain sebagainya.
Dikatakan Mega, Tiongkok dapat mengambil peran dalam diplomasi ekonomi.
“Dunia membutuhkan Tiongkok, sehingga kekuatan ekonomi Tiongkok menjadi kekuatan nyata dunia,” kata Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tersebut.
Mega meyakini, jika Tiongkok secara konsisten melaksanakan diplomasi kebebasan ekonomi, maka akan menjadi jawaban bagi permasalahan dunia. Ia juga meyakini Pemerintah dan Rakyat Tiongkok juga tidak setuju dengan praktik-praktik ekonomi yang tak berbelaskasih. Hal itu tercermin dari tekad Pemerintah RRT di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping. Pada penutupan sidang pertama Kongres Rakyat Nasional Ke-13 di Beijing pada 20 Maret 2018, Xi Jinping menegaskan Tiongkok tidak akan pernah membangun dan berkembang dengan mengorbankan kepentingan bangsa-bangsa lain.
Dengan kata lain, kata Mega, ekonomi Tiongkok yang meningkat bukanlah suatu isyarat atas munculnya perang dagang. Paradigma ‘perang’ dalam ekonomi adalah cerminan dari liberalisme. Sementara Tiongkok saat ini diyakininya tidak sedang memainkan ‘perang’ dalam konteks itu.
Mega mengatakan, diplomasi ekonomi yang dijalankan suatu negara tidak bisa lepas dari politik. Karena itu, dasar politiknya harus ada. Dia mencontohkan Bung Karno sebagai Presiden Indonesia pertama yang konsisten memegang dasar negara Pancasila, juga menjalankan diplomasi ekonomi melalui pelaksanaan Konferensi Asia Afrika 1955. Kala itu, Bung Karno menugaskan PM Indonesia Ali Sastroamidjojo bertemu dengan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok untuk menyampaikan undangan resmi menghadiri Konferensi Asia Afrika.
“Bung Karno menyampaikan sebuah pesan, ‘tibalah saatnya bagi Tiongkok untuk membuka pintunya bagi dunia‘. Kemudian, pemerintah Republik Rakyat Tiongkok pun menunjuk utusan khususnya, PM Zhou Enlai,” kata Mega.
Dalam pembukaan KAA itu, Bung Karno menyatakan empat hal. Pertama, rakyat dimanapun di kolong langit ini, tidak ingin ditindas dan dieksploitasi oleh bangsa lain. Kedua, rakyat dimanapun menuntut kebebasan dari kemiskinan dan ketakutan yang disebabkan ancaman. Ketiga, rakyat dimanapun menuntut kebebasan untuk menggerakkan aktivitas sosial yang membangun dalam upaya meningkatkan kebahagiaan individu maupun masyarakat. Keempat, rakyat dimanapun menuntut kebebasan berbicara untuk menuntut hak-haknya, yaitu demokrasi.
Sedangkan Zhou Enlai menyampaikan pidato yang menegaskan bahwa Tiongkok tiba di KAA untuk menggalang persatuan, bukan konflik. Zhou menegaskan Delegasi Tiongkok datang bukan untuk menyebarluaskan ideologi politik maupun sistemnya. Yang dicari adalah persamaan, untuk menyingkirkan penderitaan dan bencana akibat kolonialisme. Dalam konferensi tersebut, lanjut Mega, Zhou Enlai mengusulkan lima prinsip yang dikenal sebagai Lima Prinsip Perdamaian Zhou Enlai, yakni saling menghormati kedaulatan satu sama lain, tidak saling menyerang, tidak saling mencampuri urusan dalam negeri satu sama lain, kesetaraan dan kerjasama yang saling menguntungkan, dan hidup berdampingan dengan damai.
Lima Prinsip Enlai akhirnya menjadi bagian penting dan menjadi semangat Dasa Sila Bandung. Yang merupakan 10 prinsip yang membawa gelombang kemerdekaan dari bangsa-bangsa terjajah di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Mega mengatakan, prinsip-prinsip itu sangat kontekstual saat ini atau 63 tahun setelah KAA 1955 dilaksanakan. Oleh karenanya, diplomasi ekonomi tidak boleh lepas dari landasan politik yang sudah dituliskan para pendiri bangsa.
Mega menyampaikan, Bung Karno menegaskan bahwa prinsip politik internasional yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh Indonesia adalah politik bebas dan aktif. Bebas berarti tidak terikat dengan pihak manapun, sementara aktif berarti terlibat dalam perdamaian dunia secara aktif dan berkesinambungan.
“Ini jugalah yang menjadi prinsip dalam diplomasi politik dan ekonomi yang saya yakini dan laksanakan,” kata Mega.
Dia menekankan keinginan setiap negara atas perekonomian yang kuat tidak boleh dilakukan dengan menciderai bangsa-bangsa lain.
Mega mengatakan, hubungan persahabatan Indonesia-Tiongkok adalah suatu hubungan persahabatan tradisional yang sudah dijalin sejak berabad-abad lalu.
“Hubungan persahabatan Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok sebetulnya sudah seperti persahabatan tradisional. Karena dari berabad lalu hubungan itu sudah terjalin,” kata Mega.
Dalam bagian dari sejarah persahabatan kedua negara, Indonesia tidak bisa lepas dari pelaut kawakan asal Tiongkok, Laksamana Cheng Ho. Dia mengatakan, Cheng Ho datang ke Indonesia dan berkunjung ke beberapa tempat di Tanah Air, yang situsnya sampai saat ini masih ada.
Selain itu, banyak warga Indonesia saat ini yang merupakan pendatang dari Tiongkok dan menjadi pengusaha di Tanah Air. Dengan demikian, kata Mega, hubungan antara Indonesia dengan Tiongkok tinggal dilanjutkan saja, karena masih banyak yang dapat dilakukan kedua negara secara bersama-sama.
Dia pun mengenang kunjungannya ke Beijing, Tiongkok, puluhan tahun silam, saat dirinya masih menjadi Anggota DPR RI. Kala itu, kata Mega, penduduk Tiongkok masih banyak yang bersepeda dan menggunakan pakaian seperti pendekar kungfu. Tetapi sekarang, perubahan cepat terjadi di Tiongkok. Mayoritas penduduk, seperti di Kota Fuzhou, banyak yang naik motor listrik.
“Sekarang yang ada sepeda motor listrik dan juga semua sudah berpakaian jas,” ujarnya.
Pada acara penganugerahan gelar Honoris Causa itu hadir Presiden Fujian Normal University Prof Wang Changping, Ketua Dewan Fujian Normal University Li Baoyin, para guru besar, senat, dan dewan kampus. Hadir pula Duta Besar Indonesia untuk RRT Djauhari Oratmangun, keluarga Megawati, sahabat, serta sejumlah petinggi PDI Perjuangan.
Sebelumnya, Mega sudah menerima tujuh gelar doktor kehormatan, yakni dari Universitas Waseda Tokyo di Jepang (2001), Moscow State Institute of International Relation di Rusia (2003), Korea Maritime and Ocean University di Korea Selatan (2015), dan Universitas Padjadjaran Bandung (2016). Kemudian, Universitas Negeri Padang (2017), Mokpo National University di Korea Selatan (2017), dan Doktor Honoris Causa bidang politik pemerintahan dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (2018). #arf