
Palembang, SumselSatu.com
Tak hanya lirik lagu, selembar foto, atau rintik hujan yang bisa membawa seseorang mengenang masa lalu. Secangkir kopi susu juga terekam oleh otak. Nostalgia manisnya rasa kopi itu yang membawa Chairul S Matdiah, MH, Mkes, kembali ke kenangan di tahun 1978. Inilah rasanya nostalgia yang membawa perasaan bahagia!
Rabu, (16/8/2023), selepas mengikuti Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Selatan (DPRD Sumsel) dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke-78, Chairul melangkahkan kakinya menuju ke bawah Jembatan Ampera Palembang.
Setibanya di bawah Jembatan Ampera, dia langsung membuka bagasi mobil Mitsubshi Pajero warna putih. Terlihat, banyak kantung besar plastik berisi ratusan nasi bungkus.
Tidak butuh waktu lama, ratusan warga dan pedagang di bawah Jembatan Ampera langsung datang menghampiri. Mereka secara tertib antri untuk menerima nasi bungkus yang dibagikan Chairul satu per satu.
“Hari ini ada 500 ratus nasi bungkus yang saya bagikan. Besok, Kamis (17/8/2023), juga akan dibagikan 500 bungkus. Lokasinya juga di bawah Jembatan Ampera,” ujar Chairul.
Pembagian nasi bungkus adalah kegiatan rutin yang dilakukan dari Senin hingga Jumat. Satu hari sekitar 100 nasi bungkus yang dia bagikan. Namun, khusus tanggal 16-17 Agustus, dia membagikan 500 nasi bungkus.
“Hari ini sengaja membagikan 500 nasi bungkus untuk mengenang saat masih berjualan kopi susu dan teh manis di bawah proyek (Jembatan Ampera-red). Saat itu tahun 1977, saya masih duduk di kelas 1 SMP Pancadarma Palembang,” kenang dia.
Saat membagikan nasi bungkus, dia kaget karena masih ada kawan-kawan seangkatannya yang masih berjualan di bawah Jembatan Ampera. Bahkan, ada rekannya yang masih berjualan pisang di usia 78 tahun.
“Awalnya mereka tidak menyangka itu saya, karena nama saya dulu Chairul Saleh bukan Chairul S Matdiah. Dulu saya dipanggil Eluk (anak yang disayangi-red),” ujar politisi asal Partai Demokrat itu.
Pertemuan indah 45 tahun silam membuat suasana menjadi haru. Mereka saling berpelukan. Chairul pun tak kuasa menahan kucuran air matanya.
“Mereka selama ini tidak mengetahui saya pernah menjadi wartawan, pengacara dan sekarang anggota dewan. Bahkan mereka tidak tahu apa itu anggota dewan, apalagi fungsi anggota dewan. Mereka hanya berdoa agar saya sehat. Dan saya tak kuasa menahan tangis saat mereka mendoakan agar saya tetap sehat. Terima kasih sudah ingat dengan saya,” ujar anak tertua pasangan H Matdiah Faat dan Hj Rodiah Matdian.
“Kenangan ini membuat saya terharu. Dulu saya masih berjualan kopi, sekarang saya sudah menjadi anggota dewan,” Chairul menambahkan.
Lanjutnya, dia konsisten membagikan nasi bungkus bukan karena sok kaya atau ada maksud tertentu, melainkan ada rasa bahagia setelah dia membagikan nasi bungkus.
“Selama membagikan nasi bungkus tidak pernah saya buat nama, baru tadi saya tulis nama Chairul S Matdiah, Anggota DPRD Sumsel untuk mengenang saat saya masih berjualan kopi. Saya ini sakit, sudah dua kali cangkok ginjal, ditambah sakit jantung. Namun setelah membagikan nasi bungkus perasaan jadi tenang,” katanya.
“Penghasilan saya di DPRD Sumsel baik gaji dan tunjangan sekitar Rp50 juta, semuanya saya sedekahkan lewat nasi bungkus. Sisanya sekitar Rp50 juta, saya ambil dari bunga deposito tabungan saya selama menjadi pengacara. Jadi dalam satu bulan saya menghabiskan sekitar Rp100 hingga Rp150 juta untuk sedekah nasi bungkus,” tambahnya.
Berjualan Kopi sejak Dinihari
Chairul berjualan kopi sejak pukul 03.00 dinihari WIB hingga pukul 06.00 WIB. Setelah berjualan kopi dia langsung menyiapkan diri untuk bersekolah.
“Awal berjualan kopi karena uang bulan yang dikirimkan ayah dari Desa Gaji Mati, Kecamatan Sungai Menang, Kabupaten OKI, sering telat. Dulu transportasi tidak seperti saat ini. Kadang 3 hari 3 malam uang kiriman baru sampai,” ceritanya.
Chairul mengatakan, dia berjualan kopi selama 6 tahun, dari kelas 1 SMP Pancadarma dan kelas 3 SMA Bhakti Ibu (1978-1984). Dari hasil berjualan kopi dia dapat mengumpulkan uang Rp150 ribu per hari.
“Satu cangkir kopi susu saya jual Rp15. Sehari bisa terjual 400 cangkir. Saat itu saya seperti monopoli, jadi saya mendapat keuntungan yang cukup besar dari berjualan kopi,” kata bapak empat anak itu.
Uang hasil berjualan kopi dia gunakan untuk biaya hidup dan kebutuhan sekolah. Sementara uang bulanan yang dikirim oleh sang ayah dia tabungkan.
“Ayah saya termasuk orang mampu karena pengusaha kayu di Kabupaten OKI. Setelah dua tahun berjualan kopi, ayah saya baru mengetahui kabar itu, namun dia tidak marah dan tidak melarang saya melanjutkan aktifitas berjualan kopi,” terang Chairul yang pernah menjabat Wakil Ketua DPRD Sumsel itu. #ari