
Kayu Agung, SumselSatu.com
Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Ogan Komering Ilir (OKI) melakukan aksi demonstrasi di halaman Gedung DPRD OKI, Jumat (2/3/2018) sekitar pukul 10.30 WIB. Kedatangan mereka untuk menolak Undang-undang Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Dalam orasinya mereka meminta presiden membuat Perpu pengganti UU dan meminta seluruh anggota DPRD OKI menyatakan sikap menolak UU MD3 secara tertulis.
Dari pantauan, puluhan massa datang dari Lempuing OKI dengan membawa bendera PMII dan juga poster serta spanduk bertuliskan ‘UU MD3 Membungkam Suara Rakyat’, ‘Wakil Rakyat Seharusnya Merakyat”, ‘Wakil Rakyat Bukan Paduan Suara”, ‘UU MD3 Produk Sampah’.
Koordinator Aksi PMII Sahabat Ridwan menegaskan alasan penolakan UU MD3 karena Indonesia merupakan negara demokrasi. Dia juga menilai, menilai UU MD3 isangat bertolak belakang dengan hakikat sistim pemerintahan demokrasi saat ini.
“Jangan kau bungkam demokrasi dengan RUU MD3. Sejatinya demokrasi itu untuk menghasilkan kekuasaan yang mrlindungi rakyat, bukan melindungi kekuasaan itu sendiri, termasuk koruptor,” kata Ridwan dalam orasinya.
Dia menambahkan, anggota dewan itu bukanlah dewa, dan bukan pula Tuhan yang kebal akan hukum, anti kritik serta RUU MD3 dianggap telah menciderai demokrasi. Menurut dia, jika masyarakat tidak boleh mengkritik dan dipandang penistaan anggota dewan dan akan dijerat hukum, lalu apakah anggota dewan itu Tuhan karena tidak salah.
Untuk itu, pihaknya menyampaikan sejumlah petisi yang ditolak antara lain tiap orang dianggap merendahkan DPR dapat dipenjara. Ini adalah upaya membungkam masyarakat yang ingin mengkritik DPR. DPR justru seakan menjadi lembaga otoriter.
“Buktinya, jika dipanggil DPRD tidak datang sama dengan bisa dipanggil paksa polisi. Pemanggilan paksa ini terpasuk pada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sebelumnya yang bukan menjadi kewenangan DPR. Langkah ini menjadi intervensi DPR terhadap proses pemberantasan korupsi di KPK. Jika anggota dewan dalam kasus harus dapat persetujuan MKD, di mana anggota MKD merupakan anggota dewan. Hal ini dapat menghambat pemberatasan korupsi. Pembodohan ada dimana-mana. Petani dibebankan pajak. Sementara dewan duduk manis dikursi empuk,” ucapnya.
Sayangnya, orasi ini hanya dihadiri dua anggota dewan, yakni H Laharsen Murtado dan Juni Alpansuri. Sementara anggota dewan lain absen sehingga mendapat kecamatan dari maksa aksi. Menyikapi tuntutan massa aksi, Anggota DPRD OKI Juni Alpansuri didampingi Laharsen Murtado mengaku memang baru dua anggota dewan yang menemui massa aksi karena anggota dewan lain tidak hadir karena menjalankan tugas masing-masing.
“Kami memberikan ruang bagi massa aksi untuk menyampaikan aspirasinya. Kehadiran dewan lain tidak menjadi hal yang prinsip. Pembuat UU itu ialah DPR RI bersama pemerintah dan tidak boleh sepihak. Ada judicial review. Jadi mahasiswa silakan mengajukan sanggahan terhadap pasal-pasal yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat,” tutur Juni Alpansuri. #ari