Palembang, SumselSatu.com
Program Perhutanan Sosial menjadi salah satu jalan keluar konflik agraria antara masyarakat dengan negara. Namun, telah tujuh tahun berjalan, perhutanan sosial dinilai masih tersendat-sendat. Minimnya dukungan pemerintah daerah adalah penyebab belum optimalnya program prorakyat itu.
Demikian benang merah kegiatan focus group discussion (FGD) bertajuk ‘Menjawab Tantangan dan Perkembangan Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan’, di Kantor Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Sumsel, Palembang, Sabtu (11/9/2021). FGD itu digelar Fraksi PDI Perjuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumsel.
Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama, untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya, dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan. Masyarakat bisa memiliki dan menggarap lahan di kawasan hutan dengan mengantongi Surat Keputusan (SK) tentang Perhutanan Sosial.
“Perhutanan sosial merupakan salah satu upaya redistribusi lahan kepada masyarakat secara legal. Daripada dianggap merambah kawasan hutan yang berstatus milik negara, lebih baik dilegalkan karena secara prinsip kegiatan masyarakat itu memang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan meningkatkan perekonomian keluarga,” ujar H M Giri Ramanda N Kiemas, Ketua DPD PDI Perjuangan Sumsel.
Wakil Ketua DPRD Sumsel itu mengatakan, prinsip Perhutanan Sosial adalah berkeadilan, berkelanjutan, memiliki kepastian hukum, dan partisipatif untuk masyarakat.
Giri menyampaikan, Perhutanan Sosial menjadi salah satu program prioritas nasional di masa Presiden Joko Widodo karena didesain sebagai akses legal masyarakat yang mengelola lahan di sekitar kawasan hutan.
Dikatakan Giri, Perhutanan Sosial hingga saat ini masih menghadapi beberapa permasalahan. Seperti terkait pelayanan birokrasi dalam menunjang, baik di segi pengetahuan dan pendampingan yang belum maksimal dari negara. Saat ini, pendampingan justru lebih banyak dilakukan lembaga swadaya masyrakat (LSM) atau lembaga nonpemerintah.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumsel itu menyatakan, problem administrasi atau persyaratan pengajuan usulan Perhutanan Sosial perlu disederhanakan. Semua usulan perizinan Perhutanan Sosial sekarang masih dibebankan kepada masyarakat.
“Kebijakan anggaran untuk Perhutanan Sosial masih sangat minim. Pemerintah daerah dan provinsi masih kurang mengakomodir masyarakat, karena setelah izin keluar dari Presiden, permasalahan selanjutnya adalah bagaimana mengelola lahan itu agar bermanfaat,” kata pria yang pernah menjabat Ketua DPRD Sumsel itu.
“Juga, dukungan politik dari pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten belum maksimal. Ruang lingkup Perhutanan Sosial masih dipandang hanya di dinas kehutanan. Padahal, ini tugas lintas instansi,” tambah Giri.
Direktur Program dan Jaringan Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI) Deddy Permana menyampaikan, sejak 2017 pihaknya telah menjadi pendamping Perhutanan Sosial di 11 kabupaten di Sumsel. Ada 98 izin Perhutanan Sosial dengan total area 38 ribu hektar.
Deddy mengatakan, pihaknya menilai ada beberapa tantangan dalam pelaksanaan Program Perhutanan Sosial. Yakni, lemahnya institusi lokal pemerintah menjalankan gagasan atau konsep yang direncanakan Pemerintah Pusat.
“Masyarakat setelah mendapatkan SK Perhutanan Sosial, bukan berarti dilepas begitu saja. Namun, harus ada pendampingan, sehingga Program Perhutanan Sosial ini tepat sasaran dan bisa dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat,” ujar Deddy.
Aktivis lingkungan hidup yang pernah di Wahana Bumi Hijau (WBH) Sumsel itu mengatakan, upaya koordinasi dan peningkatan kerjasama antar instansi harus dilakukan lebih intensif. Selain itu pemerintah, dunia usaha, partai politik, serta NGO/LSM harus berbagi peran secara proporsional dalam menghadapi tantangan yang dirasakan masyarakat.
FGD dihadiri Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Pandji Tjahjanto. Selain itu hadir pula sejumlah akademisi, aktivis lingkungan hidup, serta perwakilan dari perusahaan perkebunan. #arf