Oleh:
Salsabila Winatasya, Aisyah Haryani dan Meldia Syarla Martiza.
Mahasiswa Program Studi (Prodi) Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Tridinanti (Unanti) Palembang.
BANK selalu digambarkan sebagai lembaga yang berperan penting dalam menggerakkan roda perekonomian. Melalui kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana, bank seharusnya menjadi penghubung antara pihak yang memiliki kelebihan modal dengan mereka yang membutuhkan pembiayaan untuk kegiatan produktif.
Namun, dalam praktiknya, peran ideal ini sering kali tidak berjalan sebagaimana mestinya, terutama di kalangan masyarakat bawah dan wilayah pedesaan.
Selama beberapa tahun terakhir, banyak masyarakat mengeluhkan bahwa bank di Indonesia lebih sibuk mengejar profit daripada benar-benar membantu rakyat. Di kota, mungkin akses ke layanan perbankan terasa mudah, tetapi di desa, situasinya berbeda. Masih banyak warga desa yang belum tersentuh layanan keuangan formal. Akibatnya, mereka kerap bergantung pada rentenir atau lembaga keuangan nonformal yang mengenakan bunga sangat tinggi. Alih-alih menyejahterakan, situasi ini justru menjerat masyarakat ke dalam lingkaran kemiskinan.
Suku bunga kredit yang tinggi dan biaya administrasi yang tidak transparan menjadi masalah klasik yang belum terselesaikan. Banyak masyarakat desa yang tidak memahami seluk-beluk produk perbankan, sehingga mudah terjebak dalam pinjaman yang memberatkan. Proses pengajuan kredit yang berbelit dan memakan waktu lama juga membuat mereka enggan berurusan dengan bank.
Kondisi ini semakin memperburuk posisi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di desa. Banyak pelaku UMKM yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan akses pembiayaan dari bank. Padahal, sektor inilah yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian rakyat. Ketika mereka tidak mendapat dukungan modal yang cukup, sulit bagi usaha kecil di desa untuk berkembang dan bersaing.
Lebih ironis lagi, sejumlah kasus penipuan dan korupsi di dunia perbankan telah membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap lembaga ini. Kurangnya pengawasan yang ketat dan lemahnya regulasi membuka celah bagi praktik penyalahgunaan yang justru merugikan nasabah kecil.
Dalam konteks ini, wajar bila muncul pertanyaan apakah bank benar-benar hadir untuk mendukung perekonomian rakyat, atau sekadar mencari keuntungan semata?

Bank Harus Lebih Peduli Rakyat dan UMKM
Jika bank ingin kembali mendapatkan kepercayaan publik, terutama dari masyarakat kecil, mereka perlu berubah, bukan hanya secara citra, tetapi juga dalam cara kerja dan orientasinya. Bank harus benar-benar memahami kebutuhan masyarakat desa dan UMKM, bukan sekadar menawarkan produk yang tidak sesuai dengan realitas mereka.
Langkah pertama yang penting adalah memperkuat literasi dan edukasi keuangan. Banyak warga desa belum memahami perbedaan antara kredit produktif dan konsumtif, atau bagaimana cara mengelola pinjaman agar tidak menjadi beban. Bank bisa hadir dengan program pelatihan, klinik keuangan, dan pendampingan bagi pelaku usaha kecil agar mereka dapat mengelola modal secara bijak.
Selain itu, bank perlu menciptakan produk keuangan yang inklusif dan fleksibel. Misalnya, kredit mikro berbunga rendah dengan sistem pembayaran yang menyesuaikan musim panen, tabungan tanpa biaya administrasi, atau program pinjaman tanpa agunan bagi UMKM yang memiliki catatan usaha baik.
Kemajuan teknologi juga seharusnya menjadi solusi, bukan penghalang. Melalui digital banking dan agen laku pandai, bank bisa menjangkau wilayah-wilayah terpencil tanpa harus membuka banyak cabang. Masyarakat cukup datang ke agen di desa untuk menabung, mentransfer uang, atau membayar tagihan.
Bank juga perlu membangun kolaborasi yang lebih kuat dengan pemerintah daerah, koperasi, dan lembaga keuangan mikro. Kerja sama semacam ini bisa membantu menyalurkan pembiayaan produktif ke sektor-sektor penting seperti pertanian, perikanan, dan industri rumah tangga.
Dan yang tak kalah penting, transparansi dan akuntabilitas. Masyarakat berhak tahu dengan jelas berapa bunga, biaya administrasi, dan risiko yang mereka tanggung. Pelayanan yang terbuka dan adil akan menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap bank.
Menjadi Motor Penggerak Ekonomi Rakyat
Sudah saatnya bank memandang masyarakat kecil bukan sebagai ‘nasabah berisiko tinggi’, tetapi sebagai mitra strategis dalam membangun ekonomi nasional. Pemerintah pun dapat berperan dengan memberikan insentif bagi bank yang aktif menyalurkan kredit ke sektor produktif dan pedesaan.
Selain menyalurkan dana, bank juga bisa memberikan pendampingan usaha, membantu UMKM dalam manajemen keuangan, pemasaran digital, hingga sertifikasi produk. Dengan cara ini, pinjaman yang diberikan benar-benar menjadi modal untuk tumbuh, bukan sekadar utang yang menumpuk.
Jika langkah-langkah ini dijalankan dengan serius, bank tidak hanya menjadi lembaga yang mencari keuntungan, tetapi juga motor penggerak ekonomi rakyat. Bank bisa menjadi jembatan antara pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat di akar rumput.
Pada akhirnya, bank yang benar-benar kuat bukanlah yang mencatat laba terbesar, melainkan yang mampu menciptakan kesejahteraan bagi sebanyak mungkin orang. *










