Oleh :
Maulana Muhammad,S.Pd. & Arafa Pramasto ,S.Pd.
‘Sedang diuji’, sebuah frasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi interaksi antar-identitas dalam kehidupan bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Satu contoh yang paling nyata ialah tatkala kegamangan merasuk dalam keagamaan. Koeksistensi keberagaman identitas rasanya lagi digoyah, sedangkan eksistensi dari toleransi nampak tengah digugat.
Akhir bulan Desember yang mestinya menjadi kesiapan menyambut pergantian tahun dengan kedewasaan, justru terguncang karena keengganan berpijak pada realitas. Permasalahan mengenai ‘hukum mengucapkan selamat hari raya agama lain’ dijadikan polemik, padahal kesediaan merangkul sesama saudara sebangsa lebih menjadi urgensi ke depan.
Untungnya kita mempunyai sejarah panjang yang kaya, apalagi di tanah Sumatera Selatan yang dahulu merupakan Bumi Sriwijaya nan beradab. Kerajaan ini mewariskan banyak peninggalan arkeologis, tak lupa juga makna yang sarat untuk kita resapi di masa kini. ‘Sriwijaya Kerajaan Bercorak Budha’, predikat ini sangat tenar di telinga kita.
Sebelum datangnya Islam, ranah alam Melayu sebagian besar tidak bisa dilepaskan dari corak keagamaan Budha, dalam masa jaya agama ini pada rentang abad 6-11 M setidaknya ikut ditandai dua hal. Pertama, Munculnya Kerajaan Sriwijaya sebagai negeri maritim. Kedua, eratnya hubungan Sriwijaya dan Cina.
Jika berbicara tentang agama Budha tentu kita akan teringat dengan agama Hindu. Apakah di Kerajaan Sriwijaya agama Hindu pernah eksis?
Dalam buku Museum Sultan Mahmud Badaruddin II (2007) diterangkan mengenai Arca Ganesha yang ditampilkan pada bagian halaman museum. Ganesha adalah salah satu dewa (Pantheon) dalam agama Hindu, wujud kepalanya menyerupai gajah. Dewa ini dipersonifikasi sebagai semangat manusia memerangi kebodohan.
Sejak abad ke-6 M agama Hindu sudah muncul dan berkembang di Kota Kapur (P. Bangka) yang kemudian menyebar ke Palembang dan berjaya di pedalaman. Percandian Bumiayu (Muara Enim) adalah buktinya. Selain di Bumiayu, agama Hindu juga menyebar ke Teluk Kijing (± abad ke-8) dan Musi Rawas (±9-10 M).
Hasil-hasil temuan peninggalan keagamaan Hindu terbilang cukup beragam. Selain Arca Ganesha, ada pula Arca Narawahana, Arca Wisnu Menaiki Garudha, Arca Siwa Menaiki Nandi (Lembu), Arca Siwa Mahaguru dari Muara Enim, maupun Arca Nandi Vahana (Tunggangan Suci) Dewa Siwa. Dari reruntuhan Candi III situs Bumiayu ditemukan arca-arca dari tanah liat yang menggambarkan Raksasa dan Bhairawi.
Bhairawi (Dewi Durga) biasanya dihormati oleh Sekte Bhairawa yang muncul pada abad ke-6 di Benggala sebelah timur, menyebar ke timur masuk ke Asia Tenggara termasuk Nusantara. Peninggalan serupa di belahan lain pulau Sumatera ialah di Candi Biaro Bahal, Padang Lawas yang diteliti oleh F.M. Schnitger. Sisa-sisa peninggalan keagamaan Hindu ini mengisyaratkan bahwa toleransi beragama telah terbina dengan baik di masa itu, mengingat bahwa Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan bercorak Budha.
Inilah fakta sejarah yang memang terjadi di Bumi Sriwijaya, sebuah kerajaan yang menjadi prototipe awal negara nasional pertama di Nusantara. Artinya dari peninggalan-peninggalan sejarah tersebut, nenek moyang kita sudah mencontohkan toleransi dalam keberagaman identitas.
Pantaskah kita yang katanya telah ‘modern’ di masa kini justru malah terpecah belah ? Semoga ulasan kesejarahan ini bisa menjadi makna dalam mengikat persatuan-kesatuan yang lebih erat melalui toleransi. (Editor : Reza Mardiansyah, S Pd)