Eks Karyawan PT Abbott Product Indonesia Nilai Putusan Hakim Belum Berikan Rasa Keadilan

BUKTI---Majelis hakim PN Palembang memeriksa bukti yang disampaikan Dyana dan Elvina dalam persidangan, Rabu (17/9/2025) lalu. (FOTO: SS1/ANTON R FADLI)

Palembang, SumselSatu.com

Dyana Fitri, eks karyawan PT Abbott Product Indonesia yang mengajukan gugatan perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja sepihak menilai putusan Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri (PN) Palembang, belum memberikan rasa keadilan.

Menurut Dyana, majelis hakim keliru dalam menerapkan hukum, karena putusan tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan bagi pekerja.

“Saya datang ke pengadilan untuk mencari keadilan, bukan untuk mendapat PHK dari pengadilan,” ujar Dyana.

“Hakim telah salah dalam penerapan hukum yang dalam putusannya tidak sesuai dengan fakta dan bukti persidangan. Masih adakah keadilan untuk karyawan di negeri ini?,” tambahnya lagi.

Dyana menyampaikan, dalam provisi ia meminta agar majelis hakim menjatuhkan putusan sela pada saat persidangan pertama atau kedua sebagaimana ketentuan Pasal 96 UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Kemudian, meminta majelis hakim agar memerintahkan tergugat (PT Abbott Product Indonesia) untuk membayarkan upah beserta dendanya kepada penggugat (Dyana Fitri) sejak dihentikannya pembayaran upah penggugat oleh tergugat sejak April 2025 sampai dengan Agustus 2025. Totalnya, Rp100,575 juta. Apabila sampai Agustus tergugat masih belum membayar upah penggugat, maka penggugat memohon kepada majelis hakim untuk memutuskan upah penggugat masih harus tetap dibayar sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap (Inkracht).

Baca Juga  Oknum Bhayangkari Ajukan Praperadilan

“Tuntutan saya agar provisi saya dikabulkan, tujuh bulan gaji dan BPJS yang tidak Abbott bayarkan selama perselisihan. Lalu dipekerjakan kembali. Karena saya tidak merasa melakukan kesalahan-kesalahan yang merugikan perusahaan,” kata Dyana.

“Tapi hakim justru memutuskan saya dianggap melakukan pelanggaran yang seharusnya hanya dikenai sanksi surat peringatan (SP) 1, 2, dan 3, atau skorsing. Sebab saya tidak pernah menerima SP atau diskorsing,,” tambahnya.

Kata Dyana, penolakan tuntutan provisi itu merupakan kekalahan baginya. Majelis hakim membenarkan perusahaan yang tidak membuat kesalahan dalam prosedur PHK yang melanggar peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

“Hakim pun seolah bebas dari pelanggaran etik, padahal seharusnya putusan sela dikabulkan saat persidangan,” ungkap Dyana.

“Saya berharap pengadilan bisa memberikan keadilan yang sesungguhnya. Majelis hakim menjadi jembatan untuk membela yang tertindas, toh yang saya tuntut hanyalah hak saya, harga diri dari pengabdian saya selama saya bekerja,” tambahnya lagi.

“Jadi kalau dikatakan gugatan sata dikabulkan, dikabulkan darimana?. Gugatan saya semua tidak dikabulkan. Satu provisi, dua dipekerjakan kembali. Jadi yang dikabulkan yang mana?,” kata Dyana.

Baca Juga  Jokowi Yakin Indonesia Raih Banyak Medali Emas di Asian Games 2018

Dia mengatakan, akan mengambil langkah-langkah hukum lain untuk memperjuangkan haknya sebagai pekerja.

“Saya akan terus berjuang bukan hanya untuk harga diri saya dan keluarga saya tetapi juga untuk teman-teman saya yang masih bertahan dan tertindas agar mempunyai keberanian dalam mendapatkan keadilan,” tandas Dyana.

Ia juga menyesalkan sikap perusahaan yang menurutnya tidak menunjukkan tanggungjawab moral terhadap karyawan.

“Perusahaan besar multinasional sampai menindas karyawan tingkat rendah. Di mana moralnya?” katanya.

Dyana merasa seperti menjadi korban dari konspirasi antara perusahaan dan lembaga peradilan.

“Saya merasa seperti berada dalam film konspirasi politik antara hakim dan perusahaan besar, sementara saya hanyalah karyawan rendah dan seorang janda,” kata Dyana dengan nada kecewa.

SumselSatu telah menghubungi Juru Bicara (Jubir) PN Palembang Khoiri Akhmadi, SH, MH, melalui pesan Whatsapp untuk meminta konfirmasi atau klarifikasi atas pernyataan yang disampaikan Dyama Fitri. Namun, hingga berita ini diturunkan, SumselSatu belum mendapatkan jawaban.

Demikian pula kepada Kuasa Hukum PT Abbott Product Indonesia Elvina Anggraini, SH. SumselSatu juga telah menyampaikan pesan melalui Whatsapp untuk meminta tanggapan atas pernyataan Dyana Fitri. Namun, belum mendapatkan jawaban.

Baca Juga  DPRD Sumsel Setujui APBD Sumsel Rp10,6 T Lebih

Sebelumnya, majelis hakim telah memutus perkara yang diajukan Dyana Fitri (Pengugat) melawan PT Abbott Product Indonesia (Tergugat). Majelis hakim mengadili dalam provisi, menolak tuntutan provisi penggugat. Kemudian, dalam eksepsi, menolak eksepsi tergugat.

Sedangkan dalam pokok perkara, majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Majelis hakim menyatakan putus hubungan kerja antara penggugat dengan tergugat dengan alasan penggugat melakukan pelanggaran peraturan perusahaan sesuai ketentuan Pasal 36 huruf (k) dan Pasal 52 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, terhitung mulai tanggal 9 April 2025.

“Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat secara tunai dan sekaligus hak-hak normatif sebagai akibat dari terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja berupa Uang Pesangon sebesar Rp.40.365.000,00 ditambah Uang Penghargaan Masa Kerja sebesar Rp.26.910.000,00 ditambah Uang Penggantian Hak Cuti Tahunan sebesar Rp.7.765.245,00 dan Uang Pisah sebesar Rp.1.000.000,00 dengan jumlah seluruhnya adalah sebesar Rp.76.040.245,00 (tujuh puluh enam juta empat puluh ribu dua ratus empat puluh lima rupiah),” demikian tertulis dalam putusan.

Majelis hakim menolak gugatan penggugat untuk selain dan selebihnya. Kemudian, membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp59 ribu kepada negara. #arf

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here