Perokok Harus Diedukasi Mengenai Bahaya Tar

CENDERAMATA – Pihak KABAR memberikan cenderamata kepada para narasumber diskusi bertema “Pengurangan Risiko Kesehatan Akibat Bahaya Tar dari Rokok Melalui Produk Tembakau Alternatif,” Rabu (26/9/2018), di Palembang. (FOTO: SS1/YANTI)

Palembang, SumselSatu.com

Para perokok dan masyarakat luas harus diedukasi mengenai zat berbahaya yang terkandung dalam rokok, khususnya zat bernama tar. Dengan pemahaman yang utuh bisa menjadi motivasi seseorang untuk berperan aktif dalam gerakan menurunkan penyakit akibat rokok.

“Perokok seharusnya punya akses informasi terhadap fakta ilmiah dan penelitian yang kredibel, sehingga mereka paham apa perbedaan tar dan nikotin yang terdapat dalam rokok, termasuk langkah alternatif yang dapat membantu mengurangi risiko kesehatan mereka, seperti melalui pendekatan pengurangan risiko yang terdapat pada produk tembakau alternatif,” terang dr Ardini Raksanagara, MPH, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang juga Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia, saat berbicara di diskusi dengan topik “Pengurangan Risiko Kesehatan Akibat Bahaya Tar dari Rokok Melalui Produk Tembakau Alternatif,”  Rabu (26/9/2018).

Diskusi ini digelar oleh Koalisi Indonesia Bebas Tar (KABAR) dalam rangkaian roadshownya yang telah digelar di Jakarta, Bandung, dan Bali. Diskusi menghadirkan peneliti dari kalangan akademis, pemerhati kesehatan publik, dan pengamat hukum. Diharapkan diskusi dapat memberikan solusi dalam mengatasi masalah rokok, khususnya di Palembang.

Apa itu tar? Ardini menjelaskan, tar merupakan zat berbahaya yang dihasilkan dari proses pembakaran, termasuk pada saat rokok dibakar. Zat ini merupakan penyebab perokok kerap mengalami penyakit jantung, pernapasan, serta kanker.

Sedangkan nikotin adalah zat alami yang terdapat pada tembakau. Meskipun nikotin bukan penyebab penyakit akibat rokok, zat ini tidak bebas risiko. Jika dikonsumsi dalam dosis tinggi dapat menyebabkan ketergantungan. Selain pada rokok, nikotin juga terkandung dalam sayuran, seperti kembang kol, kentang, terung, dan tomat.

Pada tahun 2017, YPKP Indonesia melakukan penelitian untuk mengetahui perubahan sel pada mulut kelompok perokok aktif, pengguna rokok elektrik, dan non pengguna. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perokok aktif memiliki jumlah inti sel kecil dalam kategori tinggi sebanyak 147,1. Sedangkan, pengguna rokok elektrik dan non perokok masuk dalam kategori normal, yakni berkisar pada angka 70-80. Jumlah inti sel kecil yang semakin banyak menunjukkan adanya ketidakstabilan sel yang merupakan indikator terjadinya kanker di rongga mulut.

“Mengacu pada hasil penelitian tersebut, produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan dua kali lebih rendah dibandingkan dengan rokok. Sehingga dapat disimpulkan bahwa produk tembakau alternatif bisa menjadi salah satu solusi bagi perokok aktif yang ingin berhenti namun kesulitan dan akhirnya memilih untuk melakukannya secara bertahap dengan beralih ke produk tembakau yang memiliki risiko kesehatan lebih rendah,” terang Ardini.

Dari sisi kesehatan publik, Ketua Perhimpunan Dokter Kedokteran Komunitas dan Kesehatan Masyarakat Indonesia (PDK3MI), dr Mariatul Fadhilah, MARS mengatakan, PDK3MI telah melakukan berbagai upaya untuk mendukung pemerintah dalam mengatasi permasalahan penyakit akibat rokok. Salah satunya dengan mengingatkan bahwa cara terbaik agar terhindar dari penyakit akibat rokok adalah berhenti merokok.

“Namun, saya memahami untuk berhenti total itu bukan hal yang mudah. Maka perlu tahapan yang berangsur mengurangi kebiasaan. Peralihan untuk berhenti dapat dilakukan dengan memanfaatkan produk tembakau alternatif yang mulai dikenal di Indonesia,” jelas dr Mariatul.

Bicara soal rokok, jika diamati dari perspektif regulasi, pengamat hukum Ariyo Bimmo, SH, LL.M, menyatakan, adanya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau pada produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) yang terdiri dari rokok elektrik atau vape, molase tembakau, tembakau hirup, dan tembakau kunyah patut mendapatkan apresiasi yang tinggi.

“Melalui PMK yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan tersebut, produk tembakau alternatif sudah diakui legalitasnya. Ini adalah kemajuan yang baik bagi Pemerintah Indonesia,” kata Ariyo.

Ariyo menambahkan, produk tembakau alternatif memiliki potensi yang berlaku tidak hanya bagi perokok, tetapi juga bagi orang-orang terdekat yang berada di sekitar perokok agar terhindar dari penyakit akibat rokok.

“Dengan jumlah pengguna produk tembakau alternatif yang semakin meningkat, yang berdasarkan data Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) pada tahun 2017 sudah mencapai lebih dari satu juta vapers, maka penting bagi pemerintah untuk memformulasikan regulasi produk tembakau alternatif yang sesuai dengan tingkat risiko dan profil produk ini, dengan mengacu pada kajian dan bukti ilmiah. Karena apabila secara ilmiah produk tembakau alternatif terbukti memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok, maka sudah semestinya aturan pemerintah disesuaikan dan tidak seketat rokok,” sambungnya.

Ariyo Bimmo mengatakan, merokok itu berbahaya bagi kesehatan, kendati memiliki dampak di perkembangan masyarakat dari sisi ekonomi, khususnya bagi penjual rokok.

“Di satu sisi merokok berbahaya. Pemerintah tidak bisa mengurangi rokok, upaya ke arah sana kita anggap gagal. Jadi harus ada cara lain untuk mengurangi rokok,” katanya.

Ariyo pun menyebutkan beberapa negara yang telah mengambil langkah dalam mengatasi masalah rokok. Inggris salah satunya. Negara ini membuat peraturan perokok konvensional ke perokok eektrik dan itu terbukti meningkatkan kesehatan masyarakat setempat.

“Di rokok itu ada nikotinnya. Namun dengan rokok elektrik, kadar nikotinnya bisa dikurangi namun bisa dinikmati. Perokok pasif itu tidak terlalu tinggi dampaknya. Sedangkan perokok aktif dampaknya bisa langsung dirasakan karena langsung masuk ke paru-paru, ” jelas dia. #nti

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here